~Hyt.K
Bismillahirohmanirrahim….
Dengan
menyebut namaMu ya Allah, langkah ini dan ribuan langkah-langkah lain hanya
mengharap suatu ridloMu. Bismillahirahmanirrahim, satu langkah lagi ya Allah, satu langkah memasuki gerbang
amanah yang berhasil tidak aku rebut dengan paksa atau dengan cara yang nista.
Tuhan,
bukankah satu langkah ini mudah? Namun terasa berat saat terbayang betapa
panjang perjuangan yang tersisa. Sangat berat kugerakkan kakiku memasuki
gerbang ini. Walau ini adalah pilihanku. Walaupun ini keinginanku. Walau ini
impianku.
Bismillah,
bisa-kan aku ya Allah. Bisakan aku menebar cintaMu dengan ayunan langkahku.
“Pakai ini. Dingin.” Selembar jaket
coklat tersodor dari belakang. Aku tidak menjawab, pun tidak menyentuh kain
tebal berlapis cotton lembut
tersebut. Hanya kupandang wajah lelaki yang kemudian memakaikan tudung jaket
dikepalaku, membuat bagian badannya menggantung begitu saja. Dia meraih bahuku,
melebarkan badan jaket coklat itu, lalu membungkus tubuhku. Aku menyilangkan bagian
lengan jaketku dipinggang, bertumpuk diantara renda-renda yang menghias tepi
kerudungku.
“Terima kasih ya, Mas. Terima kasih
sudah mau mengantarku kesini. Terima kasih sudah mengijinkan aku disini.”
Dia mengangguk. Tersenyum.
Aku tau ada berbagai tanya dalam
benaknya. Ada berbagai ketidak-logisan dalam pemikiranya yang mengedepankan
kelogisan. Ada banyak hitungan salah dalam perumusannya yang selalu benar. Dan
pasti ada beragam garis kurva mebelilit nilai-nilai pada dirinya yang selalu
lurus-lurus saja
Tapi
dia tak akan mengakui kemenanganku. Dia tak pernah mengakui bahwa akulah
pemenang dari setiap pertahanannya. Bahwa pintaku selalu memenangi kuasanya
terhadap diriku. Bahwa ketidaklogisanku berhasil menundukkan kelogisannya.
Begitupun
hari ini. Saat kata tanya keluar diiringi kerut pada dahinya, “Sepagi ini?” Dan
cukup sebuah anggukan untuk membuat dia memutar kemudi mobil. Sedang aku telah
berpakaian rapi dan duduk manis disebelahnya.
Maka
aku pun menyadari bahwa memang bukan aku pemenangnya. Karena bukan aku yang
menang tapi dia yang senantiasa mengalah. Aku tidak memaksanya untuk memberikan
apa yang aku inginkan. Tapi dia telah memberikan sebelum aku meminta. Hanya
saja pemikiranya yang lurus dan kurva cara pandangku membuat kami selalu
terlilit dari simpul-simpul yang kami buat sendiri. Dan dia tidak hanya
meluluskan segala pintaku, tapi membantuku lulus dengan sendirinya. Sebenarnya
dialah yang menjadikan aku pemenang dalam setiap angan dan impianku.
“Ayo
masuk. Ngapain berdiri di depan pagar, kayak orang mau minta sumbangan,”
ujarnya asal. Kemudian dia menarik pergelangan tanganku, membawaku menembus
pagar itu. Subahanallah, satu langkah yang berat kini telah terurai menjadi
langkah-langkah ringan saat dia menggenggam tanganku!
Mungkin
benar, kelak kekhawatirannya akan menjadi nyata. Lihat saja, halaman gedung
yang konon menjadi tempat kerja orang terhormat ini dindingnya penuh dengan
warna. Aneka spanduk, poster, atau sebatas bekas tempelan kertas yang bernada
tuntutan. Tidak ada kesantunan dalam tulisannya. Semakin besar hurufnya semakin
ngeri pula membacanya. Bahkan hari ini pun, saat seharusnya poster-poster itu
dibersihkan, saat penghuni gedung ini akan diganti dan diperbarui, baru pula
poster yang ditempelkan. Demikian, baru pula kalimat kecaman yang dilontarkan.
Masyaallah…, sedemikian burukkah masyarakat menilai? Sedemikian burukkah
pendahulu-pendahulu kami? Dan apakah sedemikian buruk orang memandang kami?
Memandangku???!
Tidak!
Aku akan buktikan, Sayang. Aku akan buktikan bahwa kekuasaan bukan untuk
membedakan siapa yang memilikinya dan siapa yang tidak memilikinya. Tapi
besarnya kekuasaan harus sejalan dengan seberapa besar tugas dan fungsinya.
Kekuasaan yang besar tidak lantas menjadi kenikmatan duniawi bagi pemiliknya,
tapi dia harus mampu menebar manfaat pada masyarakat yang lebih luas.
Dan
seperti ucapanmu yang mungkin terbukti benar, aku akan membuktikan kebenaran
impianku.
“Apa
yang kurang bagimu???! Apa yang tidak cukup?! Apa yang ingin kau dapatkan??!
Penghasilan sendiri? Jabatan? Pamor? Menjadi terkenal? Masuk tivi?? Lalu dibicarakan
orang? Disanjung-sanjung? Dipuji-puji? Kamu baik pada mereka, lalu mereka
menertawakanmu. Sebagian lagi membicarakan kejelekanmu, kesalahanmu, tidak ada
tindakanmu yang benar. Setiap kamu berbuat pasti mendapat komentar. Seharusnya
begini… seharusnya begini… Halah!!! Belum lagi akan lebih banyak ujiannya.
Mengapa kamu ingin menjadi bulan-bulanan orang?! Bersyukurlah dengan hidup kita
yang sekarang. Aku bisa lebih serius kerja. Bertawakallah, hidup kita tidak
akan kekurangan.”
Aku
diam sejenak. Kuintip wajahnya dari sudut mataku. Tidak seseram yang
kubayangkan. Terlalu manis malah untuk orang yang sedang marah. Karena mungkin
dia sebenarnya tidak sedang melarangku. Hanya menguji kesiapan niatku. Lantas
kukisahkan kembali rasa syukurku. Setiap kenikmatan yang aku terima. Tentang
keluargaku. Tentang masa kecilku. Tentang hidupku yang selalu berkecukupan.
Tentang kebutuhanku yang selalu terpenuhi. Tentang dirinya, perhatianya,
cintanya, sayangnya, kesungguhannya menjagaku. Tapi apakah setiap orang juga merasakannya?
Apakah setiap orang sadar mereka juga memiliki hak yang sama? Ada banyak orang
yang tidak seberuntung aku. Lalu dimana letak syukur terhadap cinta yang Allah
berikan, jika aku menikmatinya sendiri. Jika aku tidak berusaha menyatakan pada
setiap orang bahwa mereka memilik hak-hak dalam hidupnya. Dan beberapa dari
hak-hak tersebut seharusnya diberikan oleh Negara.
Dan
kuucapkan, “Suamiku, tidakkah kau ingin mengijinkan aku melakukannya?”
05.49. Gumpalan mega dibagian timur
langit hampir menghilang. Warna jingganya nyaris terkikis habis sinar putih
mentari pagi. Taburan embun pun meleleh, meresap kembali pada tanah saat
puluhan lidi menggoyang rerumputan. Dinas Kebersihan dan Pertamanan tampaknya
sigap dengan menyebar petugas-petugasnya di sekitar gedung milik Negara ini
sejak dini hari. Membersihkan daun-daun kering yang jatuh, serpihan plastik dan
kertas yang terserak, sekalian merapikan ranting tanaman dan pasir-pasir yang
bertebaran. Tak lupa melepas poster dan spanduk yang tidak seharusnya dilihat
legeslatif Negara sebelum pelantikan.
Tim
keamanan berdatangan. Sejenak berbaris siaga, dan menerima intruksi ala
kadarnya. Simulasi keamaan dilakukan. Lalu salah satu komandan pasukan mendatangi
pos jaga. Sesaat tanganya menunjuk arah tempatku. Mungkin bertanya siapa dua
orang yang sedang berada di istana dewan legeslatif negara sebelum gladi bersih
dilakukan. Dan aku yakin ketika kulihat dia menoleh kearahku lalu berlari
menuju kerumunan pasukannya, dalam hatinya masih menyimpan tanya ‘benarkah ada
salah satu peserta yang sudah datang bersama suaminya, padahal pelantikan baru
akan dilaksanakan empat jam lagi?’.
Tentu
saja aku tidak heran dengan gelagat mereka. Sama seperti pertanyaan yang tersimpan
di benak suamiku. Seperti juga reaksi satpam saat kutunjukkan SK pengangkatanku
dan membuktikan aku adalah salah satu angota legeslatif yang terpilih melalui
mekanisme yang sah, yang akan menjalani pelantikan jam 10.00 nanti. Karena
mereka memiliki sudut pandang yang lurus-lurus saja. Karena bagi mereka
agendanya sekedar pelantikan. Jadi tiba di tempat tiga puluh menit sebelum
acara sudah lebih dari bagus.
Tapi
aku merasa butuh merekam kejadian lebih banyak. Aku butuh merekam setiap
aktifitas yang ada di tempat ini, tiap item-itemnya,
tiap detiknya, dan sedetail-detailnya, sejak aku memulai hari baruku. Seperti
kelak aku harus merekam desah nafas masyarakat yang mempercayakan suaranya
padaku.
***
“Kami
tidak meragukan dedikasi dan semangatmu untuk memberikan suatu yang lebih baik
bagi pendidikan negeri ini. Tapi ini berkaitan dengan banyak hal,” kata teman
seperjuanganku. Kami satu fraksi. Tujuannya sejalan dengan tujuanku, walaupun
kendaraan politik kami berbeda.
“Benar,
Mbak. Bisa-bisa dipelintir dengan pemberitaan penghapusan dana BOS yang tidak
pro rakyat,” ujar salah satu teman LSM. Sebagai orang ‘lapangan’ dia tau benar
betapa keji dan menyeramkan kehidupan berpolitik di negeri ini.
“Tidak
semudah mengitregrasikan posyandu-posyandu dengan balai pembinaan ibu pra
melahirkan. Walaupun program itu terbilang sukses dan terus dikembangkan ke
setiap daerah, tidak semua semudah hal itu.”
“Setahun
yang lalu kau tidak bicara seperti ini. Bahkan saat aku mengatakan ‘jika ingin
mencerdaskan anak bangsa, cerdaskan dulu ibunya’, kau bilang itu sesuatu yang
implisit,” ujarku sedikit ketus.
“Iya.
Tapi untuk hal ini….”
“Apa
yang salah…?? Ini amanat undang-undang! Setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. – Pada
pasal 9 (1), UU 23/2002 – Jika anggaran pendidikan langsung disuntikkan
pada sekolah dengan besaran yang sama sesuai jumlah murid seperti yang sekarang,
pertanyaannya adalah apakah kecerdasan setiap anak sama? Apakah minat mereka
sama? Apakah biaya operasional masing-masing sekolah sama? Kemudian sekolah
yang biaya operasionalnya tinggi boleh menarik biaya kekurangan pada siswanya.
Buktinya tidak pernah terjadi pemerataan pendidikan! Yang ada, mereka yang
berduit menyekolahkan anak-anaknya di sekolah elit, dan yang kekurangan biaya hanya
bisa bersekolah dengan kualitas dan fasilitas pendidikan jauh dari standar.
Lagi
pula kompetisi antar sekolah jadi tidak professional. Sekolah jadi lebih
mementingkan bagaimana mendapat murid sebanyak-banyaknya dari pada meningkatkan
mutu pendidikannya. Belum lagi masalah penggandaan jumlah murid, nama-nama
fiktif, dan sebagainya. Ini jelas belum berorientasi pada minat dan bakat
siswa!”
“Aku
selalu benci melihatmu sok idealis!”
“Anak
itu sendirilah yang berhak menentukan sekolah pilihannya. Dia sendiri yang akan
menunjuk dengan tangannya dimana dia layak mendapat pendidikan. Dimana dia akan
mengembangkan minat dan bakatnya. Kewajiban kita memperjuangkan hak mereka!”
“Dengarkan
aku, dana BOS telah mengalir lebih dari sepuluh tahun, dan di mata masyarakat
program tersebut adalah wujud tanggung-jawab negara terhadap pendidikan
warganya. Jika program itu dihapus….,”
“Apa
kau sudah menutup mata, siapa yang selama ini menikmat dana pendidikan
tersebut??!”
“Nah,
kau pun sudah tau. Itulah yang menjadi lebih sulit.”
“Benar,
Mbak. Setiap elemen yang ikut mencecap dana itu tak mungkin diam mendengar
rencana penghapusan program.”
“Kita
tidak perlu disini jika ini sesuatu yang mudah. Bukankah selalu ada secret strategies untuk mewujudkan
perjuangan kita? Kita punya lima kekuatan. Bahkan bisa lebih dari itu!”
Senyumku
mengembang. Melihat tatapan yakin teman-temanku pada konsep yang aku ajukan
merupakan step awal keberhasilan. Bismillah…. Ya Allah, ridloilah
langkah-langkah kami.
Kututup
hidungku dengan saputangan, Bau sisa pembakan bercampur udara malam semakin
membuatku mual. Secepatnya kucari mobil yang menyala ruang dalamnya diantara
mobil-mobil lain yang berjajar diparkiran. Berharap segera menemukan suamiku
dibalik layar notebooknya.
Mobil
kami telah menjadi ruang kerja berjalan bagi suamiku. Apalagi saat dia harus
berlama-lama menunggu kepulanganku. Karena sejak kehamilan yang memasuki bulan
ke dua dan kondisi kesehatanku yang labil, dia lebih memilih mengerjakan tugas-tugasnya
di area parkiran dari pada membiarkan aku pulang sendirian.
Terkadang
sulit mempercayai kerlaannya terhadap kesibukan pekerjaanku. Namun mendengar
jawabannya, aku lantas tertawa lega. “Aku selalu merasa kau bersamaku saat kau
bekerja untuk negara. Tapi jika aku tak mengijinkamu bekerja, berapa LSM yang
akan berdemo di depan rumah kita?”
***
Satu
dari sekian deret angka pada kalender itu membuat mataku nanar. Rasa sakit dan
keju diseluruh tubuh usai persalinan membuatku hanya mampu berhayal duduk di
ruang paripurna menunggu palu keputusan diketokkan. Aroma alcohol dan obat
pensteril luka ini membuatku tak bisa menghirup udara yang sama dengan
teman-teman seperjuanganku. Kondisiku tak memungkinkan aku mencerna setiap kata
dalam undang-undang yang akan menjadi hadiah terbaik bagi setiap anak yang
terlahir di negeri ini.
Kusapukan
pandangan keseluruh ruangan. Tidak ada seorang pun kutemukan. Kucoba menggapai
sesuatu di meja. Seorang perawat datang menanyakan apakah aku butuh bantuan.
Kutanyakan dimana anak, suami, dan keluargaku. Perawat itu bilang, suamiku
keluar setelah mengadzani bayi, tapi keluarga yang lain masih tinggal.
Beberapa
saat kemudian, datang ibu dan dua saudaraku. Ibu menggendong seorang bayi yang
terbungkus kain biru. Lalu dia meletakkan bayi mungil itu disampingku. Kulitnya
masih berkerut. Wajah dan pipinya kemerahan. Serta mata yang terlihat berat
untuk terbuka. Dia mulai belajar
beradaptasi melawan cahaya. Subahanallah, rasa bahagia ini sangat luar biasa.
Tak
berselang lama, terdengar langkah dari luar. Bunyi langkah yang sudah familiar.
Kulihat arah pintu untuk memastikan kedatangannya. Seorang lelaki berjalan
tergesa. Ditangannya tergenggam gulungan. Dia mencium keningku, dan menyelipkan
gulungan diantara aku dan bayiku. Aku mengambilnya. Sebuah surat kabar nasional
yang terikat pita merah. “Apa ini, Mas?” tanyaku tanpa membuka ikatannya. Pita
merah hanya biasa dia gunakan untuk menyibolkan sesuatu yang istimewa.
”Hadiah
atas kelahiran anak kita.”
Ia
juga menyerahkan ponselku. Terdapat sekian miscalled
dan setumpuk message. Kubuka salah
satunya.
Salam Merdeka!!!
Kemenangan kita. Kemenangan anak-anak
Indonesia.
(i)
Setiap anak yang dilahirkan dan
menyandang kewarganegaraan Indonesia akan otomatis tercatat sebagai ppemegang
kuasa dan berhak atas asuruansi pendidikan yang jumlah nominal besarnya sesuai
dengan kebutuhan biaya pendidikan masing-masing.
(ii)
Setiap anak yang menyandang
kewarganegaraan Indonesia memiliki kesetaraan hak untuk belajar di setiap
lembaga belajar di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan nilai kompetensinya.
(iii)
Biaya pendidikan ditanggung oleh
lembaga asuransi yang ditunjuk negara dengan premi yang akan disediakan APBN
(iv)
Mekanisme pelaksanaan perundangan ini akan
diatur dalam undang-undang dan dilaksakan oleh setiap aparatur negara yang
terkait serta berlaku sejak tiga tahun setelah diundangkan.
Allahu Akbar…!! Pekikku dalam hati. Kubuka pesan yang
lain.
Great! Kini
setiap anak Indonesia akan bebas menentukan sendiri sekolahnya. Sejak namanya
masuk catatan sipil dan menyandang kewarganegaraan Indonesia, setiap anak
tercatat sebagai pemegang asuransi pendidikan. Dan dengan melakukan scan finger maka pihak asuransi negara
akan melunasi seluruh biaya pendidikan dimana si anak memenuhi standar
kompetensi. Mereka bisa memilih sendiri sekolah impiannya. Seperti katamu dulu,
MEREKA CUKUP MENUNJUK JARINYA! Seharusnya aku percaya lebih awal.
Kuraih gulungan berpita merah itu. Kudekatkan
pada bayiku, “Selamat anakku, selamat...!! Lihatlah nak… kau dan setiap anak Indonesia
yang lahir berhak atas jaminan negara. Kelak kau hanya akan menunjuk dengan
jarimu, dan mulai belajar dimana kau suka. Buka matamu, Nak… dan mulailah
belajar!”
Terima
kasih ya Rabb, Kau perkenankan satu langkahku, satu impianku, impian setiap
anak negeri ini. Hingga kelak mereka tidak hanya bermimpi yang ketika bangun
apa yang mereka impikan akan menghilang. Tapi setiap anak di negeri ini akan
memiliki impiannya sendiri, yang saat mereka bangun mimpinya nyata didepannya.
Dan
akan semakin banyak impian-impian yang mengharap ridlaMu, Tuhanku…
*) materi lomba "ini impian terbaiku, mana impian terbaikmu" tapi ini versi aslinya sebelum edit.. yg ketentuan kirim 5 halaman bisa cek disini. Baru tau kalau masuk 25 besar cz 'g pernah ngecek.. haha... Alhamdulillah (^_^)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar