Kamis, 12 Desember 2013

Tunjuk Dengan Jarimu, Nak… Dan Mulailah Belajar



~Hyt.K


Bismillahirohmanirrahim….
           Dengan menyebut namaMu ya Allah, langkah ini dan ribuan langkah-langkah lain hanya mengharap suatu ridloMu. Bismillahirahmanirrahim, satu langkah lagi  ya Allah, satu langkah memasuki gerbang amanah yang berhasil tidak aku rebut dengan paksa atau dengan cara yang nista.
Tuhan, bukankah satu langkah ini mudah? Namun terasa berat saat terbayang betapa panjang perjuangan yang tersisa. Sangat berat kugerakkan kakiku memasuki gerbang ini. Walau ini adalah pilihanku. Walaupun ini keinginanku. Walau ini impianku.
Bismillah, bisa-kan aku ya Allah. Bisakan aku menebar cintaMu dengan ayunan langkahku.

            “Pakai ini. Dingin.” Selembar jaket coklat tersodor dari belakang. Aku tidak menjawab, pun tidak menyentuh kain tebal berlapis cotton lembut tersebut. Hanya kupandang wajah lelaki yang kemudian memakaikan tudung jaket dikepalaku, membuat bagian badannya menggantung begitu saja. Dia meraih bahuku, melebarkan badan jaket coklat itu, lalu membungkus tubuhku. Aku menyilangkan bagian lengan jaketku dipinggang, bertumpuk diantara renda-renda yang menghias tepi kerudungku.
            “Terima kasih ya, Mas. Terima kasih sudah mau mengantarku kesini. Terima kasih sudah mengijinkan aku disini.”
            Dia mengangguk. Tersenyum.
            Aku tau ada berbagai tanya dalam benaknya. Ada berbagai ketidak-logisan dalam pemikiranya yang mengedepankan kelogisan. Ada banyak hitungan salah dalam perumusannya yang selalu benar. Dan pasti ada beragam garis kurva mebelilit nilai-nilai pada dirinya yang selalu lurus-lurus saja
Tapi dia tak akan mengakui kemenanganku. Dia tak pernah mengakui bahwa akulah pemenang dari setiap pertahanannya. Bahwa pintaku selalu memenangi kuasanya terhadap diriku. Bahwa ketidaklogisanku berhasil menundukkan  kelogisannya.
Begitupun hari ini. Saat kata tanya keluar diiringi kerut pada dahinya, “Sepagi ini?” Dan cukup sebuah anggukan untuk membuat dia memutar kemudi mobil. Sedang aku telah berpakaian rapi dan duduk manis disebelahnya.
Maka aku pun menyadari bahwa memang bukan aku pemenangnya. Karena bukan aku yang menang tapi dia yang senantiasa mengalah. Aku tidak memaksanya untuk memberikan apa yang aku inginkan. Tapi dia telah memberikan sebelum aku meminta. Hanya saja pemikiranya yang lurus dan kurva cara pandangku membuat kami selalu terlilit dari simpul-simpul yang kami buat sendiri. Dan dia tidak hanya meluluskan segala pintaku, tapi membantuku lulus dengan sendirinya. Sebenarnya dialah yang menjadikan aku pemenang dalam setiap angan dan impianku.
“Ayo masuk. Ngapain berdiri di depan pagar, kayak orang mau minta sumbangan,” ujarnya asal. Kemudian dia menarik pergelangan tanganku, membawaku menembus pagar itu. Subahanallah, satu langkah yang berat kini telah terurai menjadi langkah-langkah ringan saat dia menggenggam tanganku!

Mungkin benar, kelak kekhawatirannya akan menjadi nyata. Lihat saja, halaman gedung yang konon menjadi tempat kerja orang terhormat ini dindingnya penuh dengan warna. Aneka spanduk, poster, atau sebatas bekas tempelan kertas yang bernada tuntutan. Tidak ada kesantunan dalam tulisannya. Semakin besar hurufnya semakin ngeri pula membacanya. Bahkan hari ini pun, saat seharusnya poster-poster itu dibersihkan, saat penghuni gedung ini akan diganti dan diperbarui, baru pula poster yang ditempelkan. Demikian, baru pula kalimat kecaman yang dilontarkan. Masyaallah…, sedemikian burukkah masyarakat menilai? Sedemikian burukkah pendahulu-pendahulu kami? Dan apakah sedemikian buruk orang memandang kami? Memandangku???!
Tidak! Aku akan buktikan, Sayang. Aku akan buktikan bahwa kekuasaan bukan untuk membedakan siapa yang memilikinya dan siapa yang tidak memilikinya. Tapi besarnya kekuasaan harus sejalan dengan seberapa besar tugas dan fungsinya. Kekuasaan yang besar tidak lantas menjadi kenikmatan duniawi bagi pemiliknya, tapi dia harus mampu menebar manfaat pada masyarakat yang lebih luas.
Dan seperti ucapanmu yang mungkin terbukti benar, aku akan membuktikan kebenaran impianku.

“Apa yang kurang bagimu???! Apa yang tidak cukup?! Apa yang ingin kau dapatkan??! Penghasilan sendiri? Jabatan? Pamor? Menjadi terkenal? Masuk tivi?? Lalu dibicarakan orang? Disanjung-sanjung? Dipuji-puji? Kamu baik pada mereka, lalu mereka menertawakanmu. Sebagian lagi membicarakan kejelekanmu, kesalahanmu, tidak ada tindakanmu yang benar. Setiap kamu berbuat pasti mendapat komentar. Seharusnya begini… seharusnya begini… Halah!!! Belum lagi akan lebih banyak ujiannya. Mengapa kamu ingin menjadi bulan-bulanan orang?! Bersyukurlah dengan hidup kita yang sekarang. Aku bisa lebih serius kerja. Bertawakallah, hidup kita tidak akan kekurangan.”
Aku diam sejenak. Kuintip wajahnya dari sudut mataku. Tidak seseram yang kubayangkan. Terlalu manis malah untuk orang yang sedang marah. Karena mungkin dia sebenarnya tidak sedang melarangku. Hanya menguji kesiapan niatku. Lantas kukisahkan kembali rasa syukurku. Setiap kenikmatan yang aku terima. Tentang keluargaku. Tentang masa kecilku. Tentang hidupku yang selalu berkecukupan. Tentang kebutuhanku yang selalu terpenuhi. Tentang dirinya, perhatianya, cintanya, sayangnya, kesungguhannya menjagaku. Tapi apakah setiap orang juga merasakannya? Apakah setiap orang sadar mereka juga memiliki hak yang sama? Ada banyak orang yang tidak seberuntung aku. Lalu dimana letak syukur terhadap cinta yang Allah berikan, jika aku menikmatinya sendiri. Jika aku tidak berusaha menyatakan pada setiap orang bahwa mereka memilik hak-hak dalam hidupnya. Dan beberapa dari hak-hak tersebut seharusnya diberikan oleh Negara.
Dan kuucapkan, “Suamiku, tidakkah kau ingin mengijinkan aku melakukannya?”

            05.49. Gumpalan mega dibagian timur langit hampir menghilang. Warna jingganya nyaris terkikis habis sinar putih mentari pagi. Taburan embun pun meleleh, meresap kembali pada tanah saat puluhan lidi menggoyang rerumputan. Dinas Kebersihan dan Pertamanan tampaknya sigap dengan menyebar petugas-petugasnya di sekitar gedung milik Negara ini sejak dini hari. Membersihkan daun-daun kering yang jatuh, serpihan plastik dan kertas yang terserak, sekalian merapikan ranting tanaman dan pasir-pasir yang bertebaran. Tak lupa melepas poster dan spanduk yang tidak seharusnya dilihat legeslatif Negara sebelum pelantikan.
Tim keamanan berdatangan. Sejenak berbaris siaga, dan menerima intruksi ala kadarnya. Simulasi keamaan dilakukan. Lalu salah satu komandan pasukan mendatangi pos jaga. Sesaat tanganya menunjuk arah tempatku. Mungkin bertanya siapa dua orang yang sedang berada di istana dewan legeslatif negara sebelum gladi bersih dilakukan. Dan aku yakin ketika kulihat dia menoleh kearahku lalu berlari menuju kerumunan pasukannya, dalam hatinya masih menyimpan tanya ‘benarkah ada salah satu peserta yang sudah datang bersama suaminya, padahal pelantikan baru akan dilaksanakan empat jam lagi?’.
Tentu saja aku tidak heran dengan gelagat mereka. Sama seperti pertanyaan yang tersimpan di benak suamiku. Seperti juga reaksi satpam saat kutunjukkan SK pengangkatanku dan membuktikan aku adalah salah satu angota legeslatif yang terpilih melalui mekanisme yang sah, yang akan menjalani pelantikan jam 10.00 nanti. Karena mereka memiliki sudut pandang yang lurus-lurus saja. Karena bagi mereka agendanya sekedar pelantikan. Jadi tiba di tempat tiga puluh menit sebelum acara sudah lebih dari bagus.
Tapi aku merasa butuh merekam kejadian lebih banyak. Aku butuh merekam setiap aktifitas yang ada di tempat ini, tiap item-itemnya, tiap detiknya, dan sedetail-detailnya, sejak aku memulai hari baruku. Seperti kelak aku harus merekam desah nafas masyarakat yang mempercayakan suaranya padaku.
***
“Kami tidak meragukan dedikasi dan semangatmu untuk memberikan suatu yang lebih baik bagi pendidikan negeri ini. Tapi ini berkaitan dengan banyak hal,” kata teman seperjuanganku. Kami satu fraksi. Tujuannya sejalan dengan tujuanku, walaupun kendaraan politik kami berbeda.
“Benar, Mbak. Bisa-bisa dipelintir dengan pemberitaan penghapusan dana BOS yang tidak pro rakyat,” ujar salah satu teman LSM. Sebagai orang ‘lapangan’ dia tau benar betapa keji dan menyeramkan kehidupan berpolitik di negeri ini.
“Tidak semudah mengitregrasikan posyandu-posyandu dengan balai pembinaan ibu pra melahirkan. Walaupun program itu terbilang sukses dan terus dikembangkan ke setiap daerah, tidak semua semudah hal itu.”
“Setahun yang lalu kau tidak bicara seperti ini. Bahkan saat aku mengatakan ‘jika ingin mencerdaskan anak bangsa, cerdaskan dulu ibunya’, kau bilang itu sesuatu yang implisit,” ujarku sedikit ketus.
“Iya. Tapi untuk hal ini….”
“Apa yang salah…?? Ini amanat undang-undang! Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. – Pada  pasal 9 (1), UU 23/2002 –  Jika anggaran pendidikan langsung disuntikkan pada sekolah dengan besaran yang sama sesuai jumlah murid seperti yang sekarang, pertanyaannya adalah apakah kecerdasan setiap anak sama? Apakah minat mereka sama? Apakah biaya operasional masing-masing sekolah sama? Kemudian sekolah yang biaya operasionalnya tinggi boleh menarik biaya kekurangan pada siswanya. Buktinya tidak pernah terjadi pemerataan pendidikan! Yang ada, mereka yang berduit menyekolahkan anak-anaknya di sekolah elit, dan yang kekurangan biaya hanya bisa bersekolah dengan kualitas dan fasilitas pendidikan jauh dari standar.
Lagi pula kompetisi antar sekolah jadi tidak professional. Sekolah jadi lebih mementingkan bagaimana mendapat murid sebanyak-banyaknya dari pada meningkatkan mutu pendidikannya. Belum lagi masalah penggandaan jumlah murid, nama-nama fiktif, dan sebagainya. Ini jelas belum berorientasi pada minat dan bakat siswa!”
“Aku selalu benci melihatmu sok idealis!”
“Anak itu sendirilah yang berhak menentukan sekolah pilihannya. Dia sendiri yang akan menunjuk dengan tangannya dimana dia layak mendapat pendidikan. Dimana dia akan mengembangkan minat dan bakatnya. Kewajiban kita memperjuangkan hak mereka!”
“Dengarkan aku, dana BOS telah mengalir lebih dari sepuluh tahun, dan di mata masyarakat program tersebut adalah wujud tanggung-jawab negara terhadap pendidikan warganya. Jika program itu dihapus….,”
“Apa kau sudah menutup mata, siapa yang selama ini menikmat dana pendidikan tersebut??!”
“Nah, kau pun sudah tau. Itulah yang menjadi lebih sulit.”
“Benar, Mbak. Setiap elemen yang ikut mencecap dana itu tak mungkin diam mendengar rencana penghapusan program.”
“Kita tidak perlu disini jika ini sesuatu yang mudah. Bukankah selalu ada secret strategies untuk mewujudkan perjuangan kita? Kita punya lima kekuatan. Bahkan bisa lebih dari itu!”
Senyumku mengembang. Melihat tatapan yakin teman-temanku pada konsep yang aku ajukan merupakan step awal keberhasilan. Bismillah…. Ya Allah, ridloilah langkah-langkah kami.

Kututup hidungku dengan saputangan, Bau sisa pembakan bercampur udara malam semakin membuatku mual. Secepatnya kucari mobil yang menyala ruang dalamnya diantara mobil-mobil lain yang berjajar diparkiran. Berharap segera menemukan suamiku dibalik layar notebooknya.
Mobil kami telah menjadi ruang kerja berjalan bagi suamiku. Apalagi saat dia harus berlama-lama menunggu kepulanganku. Karena sejak kehamilan yang memasuki bulan ke dua dan kondisi kesehatanku yang labil, dia lebih memilih mengerjakan tugas-tugasnya di area parkiran dari pada membiarkan aku pulang sendirian.
Terkadang sulit mempercayai kerlaannya terhadap kesibukan pekerjaanku. Namun mendengar jawabannya, aku lantas tertawa lega. “Aku selalu merasa kau bersamaku saat kau bekerja untuk negara. Tapi jika aku tak mengijinkamu bekerja, berapa LSM yang akan berdemo  di depan rumah kita?”
***

Satu dari sekian deret angka pada kalender itu membuat mataku nanar. Rasa sakit dan keju diseluruh tubuh usai persalinan membuatku hanya mampu berhayal duduk di ruang paripurna menunggu palu keputusan diketokkan. Aroma alcohol dan obat pensteril luka ini membuatku tak bisa menghirup udara yang sama dengan teman-teman seperjuanganku. Kondisiku tak memungkinkan aku mencerna setiap kata dalam undang-undang yang akan menjadi hadiah terbaik bagi setiap anak yang terlahir di negeri ini.
Kusapukan pandangan keseluruh ruangan. Tidak ada seorang pun kutemukan. Kucoba menggapai sesuatu di meja. Seorang perawat datang menanyakan apakah aku butuh bantuan. Kutanyakan dimana anak, suami, dan keluargaku. Perawat itu bilang, suamiku keluar setelah mengadzani bayi, tapi keluarga yang lain masih tinggal.
Beberapa saat kemudian, datang ibu dan dua saudaraku. Ibu menggendong seorang bayi yang terbungkus kain biru. Lalu dia meletakkan bayi mungil itu disampingku. Kulitnya masih berkerut. Wajah dan pipinya kemerahan. Serta mata yang terlihat berat untuk terbuka. Dia  mulai belajar beradaptasi melawan cahaya. Subahanallah, rasa bahagia ini sangat luar biasa.
Tak berselang lama, terdengar langkah dari luar. Bunyi langkah yang sudah familiar. Kulihat arah pintu untuk memastikan kedatangannya. Seorang lelaki berjalan tergesa. Ditangannya tergenggam gulungan. Dia mencium keningku, dan menyelipkan gulungan diantara aku dan bayiku. Aku mengambilnya. Sebuah surat kabar nasional yang terikat pita merah. “Apa ini, Mas?” tanyaku tanpa membuka ikatannya. Pita merah hanya biasa dia gunakan untuk menyibolkan sesuatu yang istimewa.
”Hadiah atas kelahiran anak kita.”
Ia juga menyerahkan ponselku. Terdapat sekian miscalled dan setumpuk message. Kubuka salah satunya.

Salam Merdeka!!!
Kemenangan kita. Kemenangan anak-anak Indonesia.
(i)            Setiap anak yang dilahirkan dan menyandang kewarganegaraan Indonesia akan otomatis tercatat sebagai ppemegang kuasa dan berhak atas asuruansi pendidikan yang jumlah nominal besarnya sesuai dengan kebutuhan biaya pendidikan masing-masing.
(ii)          Setiap anak yang menyandang kewarganegaraan Indonesia memiliki kesetaraan hak untuk belajar di setiap lembaga belajar di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan nilai kompetensinya.
(iii)         Biaya pendidikan ditanggung oleh lembaga asuransi yang ditunjuk negara dengan premi yang akan disediakan APBN
(iv)         Mekanisme pelaksanaan perundangan ini akan diatur dalam undang-undang dan dilaksakan oleh setiap aparatur negara yang terkait serta berlaku sejak tiga tahun setelah diundangkan.

Allahu Akbar…!! Pekikku dalam hati. Kubuka pesan yang lain.

            Great! Kini setiap anak Indonesia akan bebas menentukan sendiri sekolahnya. Sejak namanya masuk catatan sipil dan menyandang kewarganegaraan Indonesia, setiap anak tercatat sebagai pemegang asuransi pendidikan. Dan dengan melakukan scan finger maka pihak asuransi negara akan melunasi seluruh biaya pendidikan dimana si anak memenuhi standar kompetensi. Mereka bisa memilih sendiri sekolah impiannya. Seperti katamu dulu, MEREKA CUKUP   MENUNJUK  JARINYA! Seharusnya aku percaya lebih awal.

            Kuraih gulungan berpita merah itu. Kudekatkan pada bayiku, “Selamat anakku, selamat...!! Lihatlah nak… kau dan setiap anak Indonesia yang lahir berhak atas jaminan negara. Kelak kau hanya akan menunjuk dengan jarimu, dan mulai belajar dimana kau suka. Buka matamu, Nak… dan mulailah belajar!”
           
Terima kasih ya Rabb, Kau perkenankan satu langkahku, satu impianku, impian setiap anak negeri ini. Hingga kelak mereka tidak hanya bermimpi yang ketika bangun apa yang mereka impikan akan menghilang. Tapi setiap anak di negeri ini akan memiliki impiannya sendiri, yang saat mereka bangun mimpinya nyata didepannya.
Dan akan semakin banyak impian-impian yang mengharap ridlaMu, Tuhanku… 
 

*) materi lomba "ini impian terbaiku, mana impian terbaikmu" tapi ini versi aslinya sebelum edit.. yg ketentuan kirim 5 halaman bisa cek disini. Baru tau kalau masuk 25 besar cz 'g pernah ngecek.. haha... Alhamdulillah (^_^)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar