Selasa, 19 Juli 2016

Dilep semalem, tanpa edit


Emang sih gue bukan gamerz maniak... tp ada masa gua suka ngegame, pernah kerajingan game juga. Dari yang memorinya sekian ka_be hingga yang ber-giga2 pernah jadi koleksi gue. Sampe gue termasuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) temen2 yang ngincer game baru. Pernah juga pas masa kuliah, gua share game ke temen kampus, eh nggak taunya tuh game nyebar ‘n ‘mewabah’ ke temen2 lain bahkan mereka yang boleh dibilang bergelar ‘aktivis’. Dari seketariat BEM, warung Kopma, sekretariat UKM, sampe di lab fakultas juga main game gituan. Ladalah...!!
Ngerasa dosa?? Iya sih sedikit  ; tapi ni kan masih lebaran semoga dosa2 masa lalu juga terhapuskan. Hehe..

Any way sedikit banyak gue taulah tuh serunya main game, rasa asyiknya, greget ‘n penasaran untuk mencapai level berikutnya, ‘n seberapa potensi kerelaan kita ngabisin waktu buat naklukin tuh game. Rela nggak tidur, pasang alarm supaya bangun buat main game, nggak mandi, cucian numpuk, keselek cz makan sambil main ‘n lupa ngunyah, pokognya apapun deh yang penting naik level.
Em.., kalo dibandingin mungkin sebesar kereelaanmu kehilangan banyak waktu, tenaga, plus biaya buat naklukin sang gebetan...; tapi yg ini sumprit gue ‘g pegalaman xixiii...
Jadi gue nggak heran-heran bangetlah kalo ada orang yang sengaja nyemplung kali, nyebrang tol, blusukan ke lapangan TPA, ato ke tempat-tempat yang lain buan menuhin tuntutan game – belum ada kan yang masuk ruang pemutaran film di bioskop, arahin kamera ke layar, nyari monster sekaligus bajak tuh film...doble seru kali ya! XD.
Bahkan jika sampai ada yang ninggalin pekerjaan demi fokus ngegame... yah, gue pikir itu sekedar pilihan hidup yang tidak untuk ditiru.
Bagi orang yang mengaku dirinya normal, bisa jadi fenomena semacam itu dianggap tidak wajar. Tapi bagi mereka yang tertubruk kultivasi media, *ciaahh..., lumayan satu teori keluar* akan merasa apa yang mereka lihat benar-benar nyata adanya. Laiknya penonton film, para gamers seolah terserap masuk dalam permainan. Tentu tidak harus terhisap dalam layar atau media permainan seperti halnya film Jumanji, namun tanpa sadar secara psikis mereka merasa bertanggung jawab penuh pada jalannya permainan. Saat bermain, itulah dunia mereka. Kalah, menang, atau bertahan menjadi barometer kekuatan mereka. Menjadi winer ato closer, adalah bentuk perjuangan mereka.
So, ketika ada suatu game yang menggeret dunia nyata dalam game, tentu jadi tantangan baru bagi si gamers-gamers. Apalagi bagi yang udah terlindas kutivasi game segepeng-gepengnya. Mata mereka pasti kian binar natepin layar. Khayalan Jumanji berbalik arah, bukan kita yang terhisap dalam dunia permainan, melainkan item-item game yang tampak berserakan di dunia kita. Nggak harus kita berlumpur-lumpur di telaga Amazon ‘n berkejaran dengan piranha tapi cukuplah berbecek-becek di selokan tetangga demi memburu monster ikan.
Trus di tengah booming berita tentang game kekinian, kemrin siang gue pas nemenin dua bocah yang belum sadar game nonton ini >https://www.youtube.com/watch?v=dkcCsRdsZvs . Lalu melintas si bocah lain yang pernah jadi gamers sejati, pernah nentengin hape seharian demi misi bangun kota digital, ngabisin kuota dalam hitungan jam, sampai bercita-cita punya laptop baru buat nginstal game yang memorinya setera.
Gue bilang pada si bocah gamers, “Nih video klip mirip gamenya super mario ya... asik kali kalo ada game ginian.” Apa jawaban si bocah gamers? “Nggak asik lah... coba gamenya kayak asasin gitu baru asik.”
Tuh video lagu anak islami yg liriknya reffnya kurang lebih: “Masjid-masjid aku datang... damai di kalbu... di dalamnya kurasakan cinta kasih ilahi...”
Gue jadi mikir....
Kenapa nggak ada game yang menggiring pemainnya ke masjid?? Kan lebih seru dari pada puter-puter dijalanan ‘g jelas.
Misalnya lo (tokoh dalam game) bakal kuat ‘n tenaga lo meningkat setiap kali mengunjungi masjid (dalam dunia real) pada waktu-waktu tertentu (jam sholat). Jika melakukannya rutin, tubuh kita bisa bermetamorfosis ke dalam wujud baru...artinya naik level!! Tapi jika melewatkan satu waktu solat tanpa mengunjungi masjid berarti miss.. ‘n kita akan kembali ke wujud semula..
Lalu buatlah alur tersendiri semacam rentetan misi-misi gitu... buatlah monster-monster, setan-setan sebagai penantang di dunia digitalnya, buat permainan seasyik di game asasin yang bisa dimainkan diluar waktu solat... hiasi dengan klu-klu dari bacaan Quran, misal untuk mendapat senjata pemain harus membaca ayat tertentu sembari merekam di handphonenya... tapi sesaat sebelum waktu sholat game otomatis mati dan pemain kudu prepare menuju masjid... seru kan?!
GPS dan a-er a-er apa itu yang digunakan game pokemon GO apa tidak bisa digunakan untuk hal yang lebih baik??
Para pendakwah, para jenius, para utak atik komputer, para animator-animator yang muslim... dimana kalian??
Apa cukup dengan membeberkan sejumlah dampak buruk dan fakta-fakta negatif plus seikat kecaman untuk menyatakan eksistensi penolakan?? Tanpa solusi?
.
“Kita nggak ngajari orang islam nge-game!”
“Hey! Kita nggak nyuruh orang sholat pegang hape. Bung! Tapi menggiring para gamers rajin sholat di masjid. uye...?!”

Selasa, 14 April 2015

Harga Sebuah Doa

"Mau buat apa?" tanya suamiku pada hari awal pernikahan kami.
Kutelisik tatapan heran pada seraut wajah yang baru pada hari itu dapat kupandang dengan sempurna. "Buat dibaca lagi kalau pas bete," jawabku sekenanya.
Raut keheranan itu masih menyisakan tanda tanya.
Terus saja kupunguti beberapa carikan kertas berisi coretan-coretan tak beraturan, tak ada yang sama baik ukuran atau bentuk fontnya. Sementara lelaki berkaos putih oblong disebelahku membersihkan kertas bekas pembungkus kado dan menata barang-barangnya kedalam kardus di pojok kamar. Beberapa kali dia menoleh kearahku saat kuucap "aamiin" sambil meletakkan secarik kertas pada sebuah kotak tersendiri. Kotak itu kemudian kusimpan rapi di lemari.
Ada puluhan kertas yang kukumpulkan. Di dalamnya ada berbagai ucapan dan doa, dari Happy Wedding sampai Barakallahulaka... Dan apapun bentuk ungkapannya, tentu sang pengirim doa telah menjadi bagian dari kebahagiaan kami berdua.
Mungkin menjadi agak aneh ketika aku ingin menyimpan kertas-kertas ucapan itu. Kertas ucapan yang menjadi pengiring kado pernikahan. Bukankan biasanya kertas ucapan itu ikut dibuang bersama pembungkus kadonya? Hanya barang di dalamnya yang memiliki nilai 'gift'.
Cz bagiku, doa-doa dalam ucapannya yang membuat seonggok kado menjadi berhaga. Betapa tidak, setiap barang yang kami terima sebagai kado pernikahan bisa kapanpun aku beli di pasar. Dan jujur, tidak semua barang-barang itu kami butuhkan. Tapi suatu ucapan selamat atau doa, dimana kita bisa bebas mengaisnya?

Pun ketika anak pertama kami lahir, beragam bingkisan bayi mengalir. Dari pakaian, kereta, kasur, bedak, sabun, selimut, dan berbagai perlengkapan bayi datang silih berganti. Bahkan hampir semua barang-barang yang dibutuhkan tersedia tanpa perlu kami beli. Tentu sangat senang, tak lupa syukur tak henti kupanjatkan.
Lalu kemarin saat membuka bingkisan kesekian kali,  ada sesuatu yang membuatku menyeruak haru.  Dalam buntalan berbalut kertas warna-warni bermotif lucu itu terselip secarik kertas warna kuning. Hanya beberapa kata pada goresannya. Tapi  menjadi spesial karena isinya bukan ucapan selamat atas kelahiran, melainkan sebuah doa yang tertuju langsung pada anak kami. "Dhiya'... Smga km jadi anak yg sholeh berbakti pda Abi & Umi". Kumunajatkan "Aamiin" dalam hati. Kertas kuning itu lantas kutempel di balik pintu lemari.
Meski anakku belum bisa membacanya, aku harap dia juga merasakan doa-doa orang yang turut berbahagia atas kelahirannya. Dan kelak semoga setiap doa-doa terbaik yang terlantun bagi putra kami diijabah serta menjadi penuntun masa-masa pertumbuhannya. Aamiin.



Rabu, 04 Maret 2015

Syukur... Mensyukuri, Bukan Syukurin ^_^

Dulu sempat galau ihwal syukur... Apa yang harus dilakukan ketika bersyukur dan bagaimana cara bersyukur yang benar. Ingat juga pernah nulis timeline ef-be "bukannya nggak bersyukur tapi bingung bagaimana caranya".
Mungkin secara umum atau pandangan yang paling mudah dan melekat bagi tiap orang, bersyukur adalah dengan mengucap "Alhamdulillah". Ya, ini tidak salah. Memuji Allah sebagai satu-satunya zat pencipta dan pemberi kenikmatan merupakan suatu bentuk rasa syukur. Namun pertanyaannya, apakah cukup kita bersyukur hanya dengan mengucap Alhamdulillah? Berapa kali kita harus melafalkannya mengingat kenikmatan Allah yang begitu banyak bahkan nyaris tanpa batas?

Rabu, 12 Februari 2014

Aaaakkk....!!! Kita Amnesia!!!

Teringat, ada seseorang menghubungi saya dari saluran telepon, dia menanyakan adakah saran pengisi materi untuk semacam pelatihan pengembangan diri. Saya tanya, "Tema materi yang mau dibawakan apa?" Si penelpon menjawab, "Who Am I, Mbak." Saat itu saya memang tidak bisa banyak memberi solusi, karena selain pemberitahuannya mendadak, tempatnya juga jauh.

Tapi sempat terbersit keingintahuan dalam pikiran, saat tema yang diajukan seorang teman itu kembali terngiang... "Who Am I, Mbak."

Who Am I...??

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menonton film dengan judul yang sama, Who Am I. Kalau tidak salah ingat film itu dibintangi Jackie Chan, mengisahkan tentang orang yang lupa ingatan. Dan sejauh yang saya tau, ungkapan 'who am i' adalah kata yang lazim terucap dari seorang yang sedang mengalami kehilangan memori atau mengalami gangguan daya ingat, yang biasa disebut amnesia.

So, kenapa dijadikan judul pada materi pelatihan?? Tapi kemudian pikiran itu tenggelam ditelan alunan rutinitas keseharian.

Kemudian ketika saya jalan-jalan, kebetulan ada poster seminar pengembangan kepribadian. Iseng saja, say perhatikan dari waktu dan tempat pelaksanaan, pembicara, sampai pada materinya. Who Am I, menjadi salah satu materi dalam seminar itu. Who Am I lagi?!

Saya jadi berpikir lagi, apa perlunya materi Who Am I disiipkan dalam seminar atau pelatihan pengembangan kepribadian. Apakah audiens yang hadir disana sebagian besar pasien amnesia yang pernah lupa ingatan? Atau, si author seminar merasa semakin banyak orang yang berpotensi lupa ingatan sehingga butuh materi who am i sebagai penangkal manakala amnesia tiba-tiba terjadi? Tapi apakah jika eks peserta seminar tiba-tiba amnesia, mereka masih bisa mengingat materi seminar yang pernah diterimanya? Wah saya jadi tambah bingung...

Selasa, 11 Februari 2014

CH : 0 = ~ (hasil ngonsep semalaman)



CH : 0 = ~, dibaca Cinta Hakiki dibagi nol sama dengan tak terhingga. Konsep ini tercetus dan sejalan dengan kaidah ilmu hitung bahwa suatu bilangan yang dibagi ‘0’ (nol) hasilnya tidak terhitung atau memberikan hitungan tidak terhingga. Ketidak-beradaan ukuran hitung dalam simbol ‘0’ (nol) menjadi ajaib jika diposisikan sebagai pembagi bilangan lain.
Jika sebuah bilangan dibagi dengan bilangan asli (selain ‘0’),  hasilnya tentu akan memiliki nilai lebih kecil dari bilangan sebelumnya. Misalnya:
8 : 2 hasilnya 4  (empat memiliki nilai lebi kecil dari delapan)
9 :  3 hasilnya 3
6 : 6 hasilnya 1; semua bilangan yang dibagi dengan bilangan lain akan menghasilkan bilangan yang lebih kecil. Tapi tidak dengan ‘0’.
8 : 0 hasilnya...??

Dalam hitungan pembagian, ada konsep semakin kecil bilangan pembagi  akan semakin besar nilai hasilnya, contoh:
8 : 4 hasilnya  2
8:  2 hasilnya  4
8 : 1 hasilnya  8
Lalu, jika  8 : 0 berapa hasilnya...? tentunya lebih besar dari 8, tapi berapa...?

Konsep lain, adalah:
0 : 0 = n , maka  n x 0 = 0
Berapa nilai n?  Bukankah setiap bilangan yang dikali 0 hasilnya 0, maka nilai n adalah semua nilai bilangan atau tak terhingga.

Maka ilmu hitung menyatakan, pembagian bilangan nol menghasilkan sesuatu yang tak terdefinisi atau hasil yang tidak terhingga.

Ternyata konsep ini dapat kita terapkan  pada kehidupan nyata, yakni sebagai penentu ukuran cinta.  Adakalanya orang bingung menentukan bagaimana membagi cinta kepada orang tua, sahabat, teman, ataupun pasangan, sedangkan setiap orang hanya memiliki satu hati. Lantas bagaimana membagi cinta yang bersemayam dalam satu hati itu pada orang-orang disekeliling kita?
Jawabannya adalah: bagi cintamu dengan bilangan 0!
Sederhananya, membagi cinta dengan 0 adalah mencintai sepenuh-penuhnya.  Cinta dibagi nol adalah cinta yang tidak terbagi. Yakni memenuhi hati dengan cinta yang utuh sehingga tidak ada celah untuk pembagian yang lain. Jadi orientasi hati kita hanya pada cinta itu.
Apakah lalu kita tidak bisa mencintai hal yang lain?
Kembali pada konsep pembagian  nol, bahwa sesuatu yang dibagi ‘0’ akan mengasilkan hitungan tak terhingga, maka cinta dibagi ‘0’ akan menghasilkan cinta yang tak terhingga pula.
Jika konsep ini dapat teraktivasi, kita akan bisa mencintai apapun dan siapapun tanpa batas.     
Pertanyaan selanjutnya, adakah yang patut kita cintai dengan sepenuh-penuhnya hingga dalam hati tak boleh ada celah yang lain?
Ada donk....
Siapa???
Dia adalah cinta pertama kita! Dialah yang menyematkan rasa cinta kepada hati setiap manusia. Yang telah mengambil persaksian sebelum kita lahir, sebelum ruh kita ditiupkan pada rahim. Dia yang mengilhamkan pada hati untuk senantiasa mencari dan mengenal siapa cinta sejatinya.