Selasa, 14 April 2015

Harga Sebuah Doa

"Mau buat apa?" tanya suamiku pada hari awal pernikahan kami.
Kutelisik tatapan heran pada seraut wajah yang baru pada hari itu dapat kupandang dengan sempurna. "Buat dibaca lagi kalau pas bete," jawabku sekenanya.
Raut keheranan itu masih menyisakan tanda tanya.
Terus saja kupunguti beberapa carikan kertas berisi coretan-coretan tak beraturan, tak ada yang sama baik ukuran atau bentuk fontnya. Sementara lelaki berkaos putih oblong disebelahku membersihkan kertas bekas pembungkus kado dan menata barang-barangnya kedalam kardus di pojok kamar. Beberapa kali dia menoleh kearahku saat kuucap "aamiin" sambil meletakkan secarik kertas pada sebuah kotak tersendiri. Kotak itu kemudian kusimpan rapi di lemari.
Ada puluhan kertas yang kukumpulkan. Di dalamnya ada berbagai ucapan dan doa, dari Happy Wedding sampai Barakallahulaka... Dan apapun bentuk ungkapannya, tentu sang pengirim doa telah menjadi bagian dari kebahagiaan kami berdua.
Mungkin menjadi agak aneh ketika aku ingin menyimpan kertas-kertas ucapan itu. Kertas ucapan yang menjadi pengiring kado pernikahan. Bukankan biasanya kertas ucapan itu ikut dibuang bersama pembungkus kadonya? Hanya barang di dalamnya yang memiliki nilai 'gift'.
Cz bagiku, doa-doa dalam ucapannya yang membuat seonggok kado menjadi berhaga. Betapa tidak, setiap barang yang kami terima sebagai kado pernikahan bisa kapanpun aku beli di pasar. Dan jujur, tidak semua barang-barang itu kami butuhkan. Tapi suatu ucapan selamat atau doa, dimana kita bisa bebas mengaisnya?

Pun ketika anak pertama kami lahir, beragam bingkisan bayi mengalir. Dari pakaian, kereta, kasur, bedak, sabun, selimut, dan berbagai perlengkapan bayi datang silih berganti. Bahkan hampir semua barang-barang yang dibutuhkan tersedia tanpa perlu kami beli. Tentu sangat senang, tak lupa syukur tak henti kupanjatkan.
Lalu kemarin saat membuka bingkisan kesekian kali,  ada sesuatu yang membuatku menyeruak haru.  Dalam buntalan berbalut kertas warna-warni bermotif lucu itu terselip secarik kertas warna kuning. Hanya beberapa kata pada goresannya. Tapi  menjadi spesial karena isinya bukan ucapan selamat atas kelahiran, melainkan sebuah doa yang tertuju langsung pada anak kami. "Dhiya'... Smga km jadi anak yg sholeh berbakti pda Abi & Umi". Kumunajatkan "Aamiin" dalam hati. Kertas kuning itu lantas kutempel di balik pintu lemari.
Meski anakku belum bisa membacanya, aku harap dia juga merasakan doa-doa orang yang turut berbahagia atas kelahirannya. Dan kelak semoga setiap doa-doa terbaik yang terlantun bagi putra kami diijabah serta menjadi penuntun masa-masa pertumbuhannya. Aamiin.



Rabu, 04 Maret 2015

Syukur... Mensyukuri, Bukan Syukurin ^_^

Dulu sempat galau ihwal syukur... Apa yang harus dilakukan ketika bersyukur dan bagaimana cara bersyukur yang benar. Ingat juga pernah nulis timeline ef-be "bukannya nggak bersyukur tapi bingung bagaimana caranya".
Mungkin secara umum atau pandangan yang paling mudah dan melekat bagi tiap orang, bersyukur adalah dengan mengucap "Alhamdulillah". Ya, ini tidak salah. Memuji Allah sebagai satu-satunya zat pencipta dan pemberi kenikmatan merupakan suatu bentuk rasa syukur. Namun pertanyaannya, apakah cukup kita bersyukur hanya dengan mengucap Alhamdulillah? Berapa kali kita harus melafalkannya mengingat kenikmatan Allah yang begitu banyak bahkan nyaris tanpa batas?