Simbolisasi Islam Dalam Film
Memang belum ada teori baku tentang
apa dan bagaimana film dikategorikan film Islami. Namun seyogyanya sebuah film
Islam bermula dari suatu niat mendakwahkan islam ditengah masyarakat. Dan
sesuai dengan konsep dakwah Islam yakni amarmakruf nahi munkar, maka film islam
haruslah memberi pemahaman konsep Islam secara benar, mendorong terhadap perbaikan
perilaku ummat, dan menceggah kebatilan. Bukan hanya sebagai pelabelan atau
simbolisasi Islam.
Seperti yang banyak kita lihat
dilayar kaca menjamurnya film-film bergenre Islam seakan tidak lebih dari
melabelkan seseorang dengan atribut Islam. Seorang yang kaya dan congkak, dengan hanya
menyelempangkan kain sorban jadilah tokoh haji yang sombong. Seorang gadis yang
ingin digambarkan baik dan manis, cukup dengan membalut wajahnya dengan sehelai
kerudung cocoklah dia menyandang tokoh muslimah. Dan jika ingin mengambarkan
sosok ustad cukuplah kiranya memasangkan assesoris berupa songkok atau kopyah
dikepalanya. Baik sorban, kerudung, kopyah, dan sebagainya merupakan
simbol-simbol yang sengaja dilekatkan untuk memberikan kesan islami, walaupun
keseharian mereka digambarkan jauh dari tuntunan Islam.
Lantas apakah hal ini patut mendapat
apresiasi positif? Penulis menyatakan tidak!
Dalam teori kultivasi, ada kecenderungan masyarakan untuk menganggap fenomena yang digambarkan oleh media (termasuk film) merupakani kejadian di dunia nyata. Jika fenomena tersebut tegeneralisasi dalam alam pikiran khalayak, maka dia akan menganggap apa yang dia saksikan dalam film adalah nilai yang sebenarnya dan budaya yang berkembang di dunia yang sekarang. Saat seseorang melihat film dengan tokoh ustad yang beristri empat, dia akan menganggap seorang ustad identik dengan poligami. Dan jangan heran jika kelak adik-adik kita mengatakan, “Anak kiayi ini di film itu boleh kok jalan-jalan berdua sama pacarnya, kenapa aku tidak boleh? Dia juga solehah dan berkerudung.” Ini yang dapat menjadi racun dalam dakwah Islam sendiri.
Selain
melabelkan simbol-simbol Islam tidak pada tempatnya, adakalanya sebuah film
memberikan fokus pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi tapi tidak
bisa menjadi sample keadaan yang
sebenarnya. Bahwa dunia Islam sendiri adalah fenomena kompleks yang tidak
mungkin dibidik dalam satu kamera, maka terjadi frame-frame, bagaimana kita mengarahkan fokus pada bagian yang
ingin kita bidik. Seperti halnya seseorang memotret gunung, tidak mungkin dia
bisa memotret gunung secara keseluruhan. Mungkin dia bisa memotret bentuk
gunung, hutan didalamnya, sungainya, jalannya yang terjal, atau air terjun
dibaliknya. Dalam teori kultivasi, ada kecenderungan masyarakan untuk menganggap fenomena yang digambarkan oleh media (termasuk film) merupakani kejadian di dunia nyata. Jika fenomena tersebut tegeneralisasi dalam alam pikiran khalayak, maka dia akan menganggap apa yang dia saksikan dalam film adalah nilai yang sebenarnya dan budaya yang berkembang di dunia yang sekarang. Saat seseorang melihat film dengan tokoh ustad yang beristri empat, dia akan menganggap seorang ustad identik dengan poligami. Dan jangan heran jika kelak adik-adik kita mengatakan, “Anak kiayi ini di film itu boleh kok jalan-jalan berdua sama pacarnya, kenapa aku tidak boleh? Dia juga solehah dan berkerudung.” Ini yang dapat menjadi racun dalam dakwah Islam sendiri.
Begitupun
dengan film. Ketika seseorang ingin memperlihatkan kebudayaan Islam melalui
film,
dia harus memframe kebudayaan
mana yang ingin dia tunjukkan. Ini yang kemudian digunakan sebagai alat untuk
mendiskreditkan nila-nilai Islam atau dengan sengaja menimbun kontroversi demi
mendongkrak popularitas. Sebutlah judul film “Perempuan Berkalung Sorban”. Film
tersebut berusaha memframe kehidupan
budaya pesantren yang dinilai konsorvatif terhadap kebebasan perempuan. Memang
tidak sepenuhnya disangkal sistem yang digambarkan film itu bisa saja terjadi
dalam sebuah pesantren. Tapi apakah dapat disimpulkan seperti itulah kehidupan pesantren pada umumnya? Jelas tidak.
Frame tersebut tidak bisa menjadi sample
yang menggambarkan realitas yang sebenarnya.
Namun
ketika masyarakat menyaksikan gambaran tersebut tanpa disertai frame-frame yang
lain, mereka akan mempercayai gambaran itu sebagai kenyataan secara umum. Hal
ini yang disebut kekuatan dalam menampilkan kesan. Walaupun pesan yang didapat
dari keseluruhan film tersingkap saat ending bahwa pengekangan terhadap
perempuan tidak ada dalam ajaran Islam, tapi kesan bahwa dalam pesantren yang
notabene lembaga pendidikan Islam terjadi sebuah sistem yang mengkerdilkan
hak-hak perempuan tidak dapat dihindarkan. Maka bandingkan kesan seseorang
terhadap pesantren setelah melihat film “Perempuan Berkalung Sorban” dengan
seseorang yang usai melihat film “Negeri Lima Menara”.
Cinta Dalam Film Islami
Sebagai penutup dan evaluasi terhadap
film-film Islam di Indonesia, bahwa hampir disetiap film selalu menghadirkan
tema cinta sebagai daya magnetnya. Seakan cinta tidak dapat dipisahkan dari
kisah kesuksesan sebuah film, termasuk film bergenre islami. Tapi bukan berarti
kebutuhan pasar akan kisah cinta atau romantika dapat mengikis tatanan Islam
dalam menempatkan cinta. Malah menurut hemat penulis, hanya dalam tatanan Islam
seorang manusia dapat memiliki cinta yang tidak terbatas. Islam sebagai sebuah
sistem kehidupan satu-satunya yang mengatur cinta sesuai porsi-porsianya.
Bahkan cinta yang belum sempat tereksplorasi dalam film.
Bukankah dalam Islam telah ditata
sedemikian rupa sehingga kita bisa menterjemahkan cinta terhadap Allah, cinta
terhadap sesama manusia, dan cinta
terhadap lingkungan alam semesta. Ranah itulah yang seharusnya menjadi objek
garapan perfileman kita. Tentunya dengan konsep islami baik dari segi intrinsik
dan ekstrinsiknya, sehingga menjadi film Islam yang berkualitas dan bukan hanya
sekedar pelabelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar