Selasa, 03 Desember 2013

Film Islami Atau Islamisasi Film (2)

~ Lanjutan dari Filim Islami atau Islamisasi Film (1)


             
Simbolisasi Islam Dalam Film
            Memang belum ada teori baku tentang apa dan bagaimana film dikategorikan film Islami. Namun seyogyanya sebuah film Islam bermula dari suatu niat mendakwahkan islam ditengah masyarakat. Dan sesuai dengan konsep dakwah Islam yakni amarmakruf nahi munkar, maka film islam haruslah memberi pemahaman konsep Islam secara benar, mendorong terhadap perbaikan perilaku ummat, dan menceggah kebatilan. Bukan hanya sebagai pelabelan atau simbolisasi Islam.
            Seperti yang banyak kita lihat dilayar kaca menjamurnya film-film bergenre Islam seakan tidak lebih dari melabelkan seseorang dengan atribut Islam.  Seorang yang kaya dan congkak, dengan hanya menyelempangkan kain sorban jadilah tokoh haji yang sombong. Seorang gadis yang ingin digambarkan baik dan manis, cukup dengan membalut wajahnya dengan sehelai kerudung cocoklah dia menyandang tokoh muslimah. Dan jika ingin mengambarkan sosok ustad cukuplah kiranya memasangkan assesoris berupa songkok atau kopyah dikepalanya. Baik sorban, kerudung, kopyah, dan sebagainya merupakan simbol-simbol yang sengaja dilekatkan untuk memberikan kesan islami, walaupun keseharian mereka digambarkan jauh dari tuntunan Islam.
            Lantas apakah hal ini patut mendapat apresiasi positif? Penulis menyatakan tidak!
Dalam teori kultivasi, ada kecenderungan masyarakan untuk menganggap fenomena yang digambarkan oleh media (termasuk film) merupakani kejadian di dunia nyata. Jika fenomena tersebut tegeneralisasi dalam alam pikiran khalayak, maka dia akan menganggap apa yang dia saksikan dalam film adalah nilai yang sebenarnya dan budaya yang berkembang di dunia yang sekarang. Saat seseorang melihat film dengan tokoh ustad yang beristri empat, dia akan menganggap seorang ustad identik dengan poligami. Dan jangan heran jika kelak adik-adik kita mengatakan, “Anak kiayi ini di film itu boleh kok jalan-jalan berdua sama pacarnya, kenapa aku tidak boleh? Dia juga solehah dan berkerudung.” Ini yang dapat menjadi racun dalam dakwah Islam sendiri.
        Selain melabelkan simbol-simbol Islam tidak pada tempatnya, adakalanya sebuah film memberikan fokus pada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi tapi tidak bisa menjadi sample keadaan yang sebenarnya. Bahwa dunia Islam sendiri adalah fenomena kompleks yang tidak mungkin dibidik dalam satu kamera, maka terjadi frame-frame, bagaimana kita mengarahkan fokus pada bagian yang ingin kita bidik. Seperti halnya seseorang memotret gunung, tidak mungkin dia bisa memotret gunung secara keseluruhan. Mungkin dia bisa memotret bentuk gunung, hutan didalamnya, sungainya, jalannya yang terjal, atau air terjun dibaliknya.
Begitupun dengan film. Ketika seseorang ingin memperlihatkan kebudayaan Islam melalui film,
dia harus memframe kebudayaan mana yang ingin dia tunjukkan. Ini yang kemudian digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan nila-nilai Islam atau dengan sengaja menimbun kontroversi demi mendongkrak popularitas. Sebutlah judul film “Perempuan Berkalung Sorban”. Film tersebut berusaha memframe kehidupan budaya pesantren yang dinilai konsorvatif terhadap kebebasan perempuan. Memang tidak sepenuhnya disangkal sistem yang digambarkan film itu bisa saja terjadi dalam sebuah pesantren. Tapi apakah dapat disimpulkan seperti itulah  kehidupan pesantren pada umumnya? Jelas tidak. Frame tersebut tidak bisa menjadi sample yang menggambarkan realitas yang sebenarnya.
Namun ketika masyarakat menyaksikan gambaran tersebut tanpa disertai frame-frame yang lain, mereka akan mempercayai gambaran itu sebagai kenyataan secara umum. Hal ini yang disebut kekuatan dalam menampilkan kesan. Walaupun pesan yang didapat dari keseluruhan film tersingkap saat ending bahwa pengekangan terhadap perempuan tidak ada dalam ajaran Islam, tapi kesan bahwa dalam pesantren yang notabene lembaga pendidikan Islam terjadi sebuah sistem yang mengkerdilkan hak-hak perempuan tidak dapat dihindarkan. Maka bandingkan kesan seseorang terhadap pesantren setelah melihat film “Perempuan Berkalung Sorban” dengan seseorang yang usai melihat film “Negeri Lima Menara”.

Cinta Dalam Film Islami
             Sebagai penutup dan evaluasi terhadap film-film Islam di Indonesia, bahwa hampir disetiap film selalu menghadirkan tema cinta sebagai daya magnetnya. Seakan cinta tidak dapat dipisahkan dari kisah kesuksesan sebuah film, termasuk film bergenre islami. Tapi bukan berarti kebutuhan pasar akan kisah cinta atau romantika dapat mengikis tatanan Islam dalam menempatkan cinta. Malah menurut hemat penulis, hanya dalam tatanan Islam seorang manusia dapat memiliki cinta yang tidak terbatas. Islam sebagai sebuah sistem kehidupan satu-satunya yang mengatur cinta sesuai porsi-porsianya. Bahkan cinta yang belum sempat tereksplorasi dalam film.
            Bukankah dalam Islam telah ditata sedemikian rupa sehingga kita bisa menterjemahkan cinta terhadap Allah, cinta terhadap  sesama manusia, dan cinta terhadap lingkungan alam semesta. Ranah itulah yang seharusnya menjadi objek garapan perfileman kita. Tentunya dengan konsep islami baik dari segi intrinsik dan ekstrinsiknya, sehingga menjadi film Islam yang berkualitas dan bukan hanya sekedar pelabelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar