My Veil My Dream
Hyt,k
Kupandang diriku dalam cermin dengan
hati mengharu basah. Betapa cantik wajah ini dalam balutan kain satin warna
ungu. Benar kata Mbak Santi bahwa inilah
yang disebut ‘krona rembulan’.
“Coba
perhatikan saat bulan purnama, ada garis melingkar yang tampak mengelilingi
rembulan. Garis itu yang membuat cahaya bulan tampak menyatu, tidak terlalu
bias seperti halnya cahaya matahari yang menyilaukan. Cahaya yang terlalu
menyilaukan membuat mata kita sakit jika melihatnya terus menerus. Garis lingkaran
itu yang menjadikan cahaya bulan menjadi sahdu dan menenangkan jika dipandang.
Sama seperti kerudung yang kita pakai, ukhti.
Kerudung atau jibab yang kita pakai tidak akan mengurangi kecantikan kita sedikitpun. Jilbab yang dipakai dengan
ikhlas akan menjadi krona di wajah kita, yang akan mengumpulkan aura kecantikan
menjadi suatu yang menyejukkan, menenangkan, dan menghindarkan seseorang dari
penyakit yang bisa muncul ketika memandangnya,” tutur Mbak Santi saat pertemuan
rutin yang kami sepakati sepekan sekali.
Tak bisa dipungkiri bahwa keinginanku
berjilbab telah membibit beberapa tahun yang lalu. Sejak aku iseng-iseng
mengisi formulir donatur di sebuah lembaga amal. Jadilah aku penyumbang tetap,
meski jumlah donasinya tidak seberapa. Yayasan pengelola amal itu kemudian
rutin mengirimkan majalah keislaman, sebagai servis lembaga kepada setiap
donatur. Dari isi majalah yang sering memuat kajian-kajian muslimah aku tau
bahwa menutup bagian tubuh yang tidak
halal dilihat orang yang bukan muhrim adalah wajib. Maka sebagai seorang muslimah, aku pun ingin
menyambut seruan Allah dalam Quran Surah Annur ayat 31 itu.
Dan
ketika Allah berkehendak mempertemukan aku dengan Mbak Santi, seorang ustadzah
cantik yang begitu telaten menuntunku melafalkan huruf-huruf hijaiyah satu demi
satu, keinginan itu makin kuat. Darinya
aku banyak belajar tentang hakikat Islam. Dari penuturannya pula aku
memahami betapa indah karunia Islam dan manisnya makna iman. Aku mulai belajar bagaimana Islam mengatur setiap detail kehidupan demi kemaslahatan umatnya. Aku ingin berusaha menjadi muslimah yang kaffah, yang selalu mematuhi aturan Allah tanpa memilah-milah. Termasuk urusan hijab.
memahami betapa indah karunia Islam dan manisnya makna iman. Aku mulai belajar bagaimana Islam mengatur setiap detail kehidupan demi kemaslahatan umatnya. Aku ingin berusaha menjadi muslimah yang kaffah, yang selalu mematuhi aturan Allah tanpa memilah-milah. Termasuk urusan hijab.
Menurut
Mbak Santi, seorang wanita muslim yang balig tidak perlu menunggu siap untuk
berhijab. Karena perintah hijab itu turun tanpa syarat apapun. Tidak seperti
perintah haji yang terdapat embel-embel ‘jika mampu’. Perintah hijab tidak memberi ruang kita untuk
menunggu!
Yeah!
Alhamdulillah, aku tidak harus repot-repot menarik tirai rumah untuk menjulurkan
jilbabku; seperti cerita sahabiyah yang pernah dikisahkan Mbak Santi. Ada
bermacam warna dan corak jilbab yang tersedia di pasar baju muslim. Aku tinggal
memilih beberapa dan membelinya.
Memang
aku bukan dari keluarga kaya. Tapi posisiku di kantor sudah mulai mapan dan
gajiku pun lumayan. Bahkan sejak ayahku tertimpa kecelakaan dan tidak mampu lagi bekerja,
penghasilanku cukup untuk menghidupi
keluargaku. Dan sampai saat ini akulah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Jadi untuk tiga atau empat lembar jilbab, aku bisa membelinya dengan mengambil
sedikit tabungan.
Bismillah
ya Allah... semoga niatku ikhlas mengharap ridhaMu!
****
Hampir
satu setengah tahun aku belajar mengaji. Mbak Santi bilang ketika seseorang
membaca Quran dengan tartil malaikat turut bertilawah bersamanya, dan jika ada
orang yang masih terbata membaca kalamNya maka Allah akan memberikan dua kali
pahala. Sabda Nabi itu menjadi motivasi bagiku untuk tidak menyerah belajar
melafalkan ayat-ayatNya. Kini aku sudah mulai bisa membaca Al Quran.
Beberapa
kali Mbak Santi juga mengajakku ke majelis taklim. Katanya untuk menambah saqafah keislamanku. Aku senang sekali.
Berkumpul dengan orang-orang hebat yang selalu bersemangat mempelajari Islam
membuat aku merasa jadi bagian dari
mereka.
Dan
sudah beberapa bulan ini aku bergabung dengan kelompok kecil yang mengkaji ilmu
Islam secara intens. Tidak banyak anggota kelompok kami. Setiap kali pertemuan
hanya enam orang, bertujuh dengan Mbak Santi. Tapi bagiku kelompok ini bukan
kelompok biasa. Kami tidak hanya bertemu, mengaji, lalu pulang dengan dengan
hanya mengucap ‘ila liqa...!’ (sampai bertemu lagi!). Melainkan ada ikatan
persaudaraan yang kuat diantara kami. Kami
sepakat dengan konsep satu kue untuk tujuh potong. Bukan berarti mengesklusifkan
diri, maksudnya adalah satu orang adalah bagian dari yang lain. Bukankan kaum
muslim sejatinya seperti satu batang
tubuh? Sehingga aku menyayangi teman-temanku seperti aku menyayangi saudaraku
sendiri.
“Assalamualaikum...,
Mbak nanti jadi ke rumah Mbak Santi kan? Ane tunggu ya Mbak! Jazakillah.” Sms
Mila muncul dilayar hp-ku. Mila adalah salah satu teman halaqahku. Dia baru
lulus SMK. Rumahnya searah dengan rumah Mbak Santi. Jadi tiap kali ada jadwal
pertemuan rutin, aku menjemputnya lalu kami berangkat bersama. Tidak hanya itu,
terkadang aku memintanya menemaniku jalan-jalan atau sekedar belanja. Begitupun
sebaliknya, beberapa kali dia mengajakku berkunjung ke rumah saudaranya.
“Dhek,
nanti mampir ke toko asesoris dulu ya....,” ucapku sedikit berteriak. Hembusan
angin menerbangkan suaraku hingga menjadi sayup-sayup.
“Kemana
mbak?” terdengar Mila memekik dari belakangku. Dari kaca sepion aku melihat dia
menarik ujung kerudungnya yang berkibar tertiup angin.
“Ke
toko asseseoris dhek. Ema minta dibelikan jepit rambut.”
“Owh...
oke Mbak.”
Selesai
halaqah, aku dan Mila mampir ke toko asesoris. Aku membeli beberapa penjepit rambut
untuk Ema adikku. Sekalian sebuah bros kecil yang aku suka karena bentuknya
yang lucu.
Sedangkan
Mila tampak asik di rak yang memajang aneka bentuk sisir rambut. Pilih punya pilih, Mila
ahirnya tampak membeli salah satu.
Aku
meraih sisir pilihan Mila dari tangannya. “Sini Dhek, bayar jadi satu aja,”
kataku.
“Eh,
jangan Mbak.”
“Nggak
papa.” Aku menyimpul senyum. Mila menurut pasrah.
Setelah
selesai bertransaksi di kasir, kami bergegas pulang. Kuantarkan Mila sampai
depan pagar rumahnya. Perempuan manis
itu pun turun dari boncenganku. Setelah mengucap ‘Jazakillah’ seraya
melambaikan tangan dia segera berbalik masuk rumah.
Kemudian
aku kembali tancap gas. Sebentar lagi magrib, pikirku. Dan aku ingin cepat
sampai rumah.
Dalam
perjalanan aku baru ingat kantong plastik berisi belanjaan asesoris kami masih
tersimpan di tas Mila. Mungkin dia lupa menyerahkannya padaku. Aku pun lupa memintanya.
Namun karena sudah kelewat sore, urung ku balikkan motor untuk kembali ke rumah
Mila. Biar aku ambil besok saja, batinku.
Ternyata
sesampainya dirumah, ada sms dari Mila yang tersimpan di inbox handponeku.
“Mbak, jepit rambutnya kelupaan. Besok aja mila antar ke rumah mbk nurul. Anti
pulang kerja jam berapa mbak?” Lalu aku balas: “Ok gpp dhek..., besok
insyaallah pulang kerja jam 4 sore.”
****
Selaksa
jingga berkumpul di ufuk barat. Mengawal sang surya menunaikan tugas di salah
satu sisi dunia. Tak tampak kabut senja. Hanya asap kenalpot yang semakin
mengepul, dengan cepat memenuhi volume udara dalam ruang kota.
Udara
sore ini memang pengap. Mungkin ini salah satu alasan banyak orang membenci
hari Senin. Karena pekerjaan di hari ini selalu menumpuk. Tadi aku harus
mengentri data dua kali lebih banyak dari biasanya. Dan semua harus selesai
hari ini juga. Hfftt..., jadwal pulang jadi molor 2 jam!
Tentu
aku masih ingat janjiku dengan Mila hari ini jam 4 sore. Pasti Mila sudah
datang dari tadi. Atau dia memutuskan pulang karena kelamaan menungguku.
Kupercepat laju kendaraanku.
Ahirnya
sampai juga. Terlihat Mila duduk di kursi teras rumah. Tampaknya dia masih
menungguku. Afwan ukhti, ini diluar
rencana.
Kukulum
senyum manis untuknya sambil melepas helm. Tapi kulihat tatapannya nanar
kearahku. Aku mendadak heran, apa yang sudah terjadi padanya?
“Mbak
Nurul....,” ucapnya lirih. Suaranya terdengar bergetar.
Kurasakan
pandangan Mila menelusuri bagian-bagian diriku. Seperti mesin scaning yang
sedang mengalisa file. Lalu kepalanya tertunduk beku.
“Astagfirllahaladzim....,”
aku mengucap istigfar dalam-dalam setelah sadar apa yang Mila rasakan.
“Astagfirllahaladzim....!! Afwan dhek... Afwan Ukhti..., afwan....” aku
mendekati Mila. Dia kembali menatapku. Kali ini tatapan matanya seolah
menghujam pada setiap sudut tubuhku. “Afwan...,” terasa llinangan air mulai
meleleh dari sudut mataku. “Maaf dhek..., maaf...., maaf Mbak belum bisa
sempurna. Mbak belum bisa berhijab dengan sempurna.”
Ingin
kupeluk tubuh Mila, berharap memperoleh kekuatan karena tiba-tiba hati dan
ragaku melemah. Tapi ragu menyelimutiku. Akankah Mila masih mau memelukku
setelah kebohongan yang sekian lama kututupi darinya?
“Mbak
Nurul....,” suaranya masih lirih. “Kenapa, Mbak? Kenapa?”
Aku meraih
handle kursi dan menjatuhkan tubuhku disana. Berbagai dilema menyeruak pada
nuraniku. Kuruntuki kelemahan-kelemahanku. Sikapku yang tidak tegas memutuskan
sesuatu. Keimananku setengah-setengah, hingga rela kutukar dengan harga murah.
Aku merasa merasa menjadi orang yang sangat hina.
“Maaf
Mil..., Mbak tidak bisa melepaskan pekerjaan ini. Mbak masih takut. Mbak belum
bisa tawakal sepenuhnya....,” ucapku terbata.
Mila
mendekatiku. Ia bersimpuh dihadapanku, menumpukan tubuh pada lututnya. “Kenapa
Mbak?” katanya mengulang pertanyaan itu.
“Ini
bukan keinginanku Mil. Mbak sangat ingin berhijab sempurna. Tapi pekerjaan Mbak
tidak memungkinkan itu. Mbak Nurul bekerja di perusahaan asing, sehingga tidak
diperbolehkan berjilbab dalam area kerja. Maaf dhek..., Mbak tidak bisa
meninggalkan pekerjaan ini. Karena Mbak bukan bekerja untuk diri sendiri tapi
juga untuk Ayah, Mama, dan juga Ema. Bagaimana nasib mereka jika Mbak tidak
pekerjaan lagi...??!” Air mataku mengalir semakin deras. Kusapu pipi dan leher
telanjangku. Kerah kemeja berlogo perusahaan yang kukenakan juga melai terasa
basah.
Mila tiba-tiba beranjak dan mendekap tubuhku.
“Mbak Nurul tidak perlu minta maaf. Seandainya Mila dalam posisi Mbak Nurul,
mungkin Mila akan melakukan hal yang sama.”
“Maaf
Dhek, Mbak tidak pernah mengatakan ini sebelumnya.”
“Tidak
apa-apa Mbak. Hanya saja Mila sangat prihatin. Mengapa sebuah perusahaan besar
yang di negara asalnya mengatakan menjunjung hak asasi manusia, mendukung kebebasan berpikir dan
berekspresi masih mengekang kita dalam menjalankan ideologi?”
Pelukan
Mila terasa makin rapat.
“Semoga
Allah segera memberi jalan terbaik ukhti...,” ucapnya.
“Terimakasih
dhek. Terimakasih ukhti.” Mataku kembali berair membuat jilbab jingga Mila
kebas basah. Jilbab yang belum bisa aku
pertahankan. Jilbab impian yang harusnya aku kenakan pada saat apapun. Jilbab
yang tidak pernah tertanggal tatkala ada mata liar memandang. Jilbab yang
terpasang layaknya krona rembulan. *)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar