Ketika banyak orang mengejar
posisinya, jujur dia berkata, “Dulu saya bercita-cita jadi petani.” Nadanya
datar. Sama sekali tidak menyiratkan penyesalan karena kini tiap jam ada saja
masalah yang datang. Juga bukan ucapan kesombongan atas prestasi yang melebihi
harapan. Dia hanya menegaskan bahwa hidup ini seperti aliran air yang membawa
kita bersamanya. Kadang berarus tenang yang menjadi tempat kita berenang riang.
Namun kadang seperti jeram, yang membuat kita rela terlempar.
Saya memanggilnya Pak Edi. Nama
lengkapnya Edi Priyanto. Saya mengenal dia (tepatnya “beliau” karena saya
sangat menaruh hormat padanya) sejak pelantikannya sebagai kepala humas perusahaan
plat merah yang membawahi 19 cabang dan 5 anak perusahaan. Saya sendiri kala
itu berkesempatan menjadi kontributor berita media internal yang merupakan
salah satu program kehumasan. Hampir setiap bulan saya bertemu Pak Edi pada
rapat redaksi. Selain juga jika ada kegiatan perusahaan atau saat agenda peliputan.
Tidak seperti kepala humas
kebanyakan, dia tidak lantas ‘show off’
dengan jabatanya. Ketika awal menjadi keumas, dia sempat ‘enggan nampang’ dan
mengatakan merasa dikerjai tim redaksi ketika close up wajahnya hampir memenuhi satu halaman majalah.
Jarang sekali saya melihat dia tampil
berdasi, apalagi ditambah jas seperti yang layak dipakai pentolan humas perusahaan
besar, kecuali saat diharuskan pada
acara-acara resmi. Pak Edi memang pernah bilang tidak nyaman mengenakan dasi.
Dia lebih enjoy bekerja dengan pakaian kemeja polos dengan bordil logo kecil
perusahaan di saku kiri. Sesekali dia menggulung lengan kemeja hingga dibawah
siku, mirip karyawan pekerja lapangan.
Posisi tinggi di departemen
kehumasan tidak menjadikan Pak Edi hilang kesederhanaan. Dia menjalin hubungan antar
karyawan dengan gayanya yang bersahaja tanpa meninggalkan wibawa. Pernah
seorang stafnya menyeletuk, “Mbok ya sekali-kali, Pak, makan siangnya di Bon Ami (restoran/cafe steakhouse di
Surabaya).” “Wah, lebih enak di kantin
belakang. Selera saya kan makanan embongan,” jawab Pak Edi tanpa beban.
Saya lebih percaya caranya menjalin
hubungan baik dengan semua orang bukan semata tuntuan fungsi jabatan menjaga
citra perusahaan tapi memang begitulah kebiasaan Pak Edi. Bahkan kepada
kami yang hanya berstatus anak magang, Pak Edi tak canggung menasihatkan: “Kata
orang Jawa, kalau mau sukses rumusnya
3N. Niru, Niteni, Nambahi. Awalnya
kita mencontoh orang lain, lalu mengingatnya sebagai pelajaran, setelah itu
berinovasi dengan seseuatu yang lebih baik.”
Hampir dua tahunan saya bekerja bersama
beliau. Waktu yang relatif singkat tapi membuat saya bersyukur bisa mengenal
sosoknya.
Kemudian tak dinyana, Allah
mempertemukan saya dengan sosok Edi yang lain. Edi Mulyono, saya tidak akan
pernah tau nama itu jika tidak melihat nama yang tertera di undangan resmi
sebuah pelatihan kepenulisan. Dan walaupun dia terkenal tidak semua
orang tau nama itu, karena dia populer dengan nama Edi yang lain. Anyway, Edi yang ini adalah direktur
perusahaan penerbitan di Yogayakarta. Bukan hanya itu dia penggagas dan
ce-e-o-nya. CEO!
Secara fisik, saya mengenal Edi
yang ini kurang dari tiga hari. Selebihnya saya kenal dari pemikiran dalam
tulisannya. Tapi benar bahwa hubungan tidak ditentukan kuantitas waktu bersama,
melainkan dari kualitasnya. Dalam tiga hari dia menjadi inspirator bagi saya. Dia
membuka mata saya, bahwa masih ada orang yang tulus ikhlas melakukan segala
sesuatu tanpa perhitungan materi hanya demi mewujudkan mimpi, bukan mimpi
dirinya semata tapi juga mimpi orang lain. Ternyata ada orang yang mau mengangkat
30 orang anak dalam semalam, dan itu dia lakukan setiap dua bulan!
Papa Edi yang ini (jika boleh
memanggil beliau demikian, karena saya sudah merasakan jadi anaknya) juga
mencontohkan bagaimana hidup sederhana dalam kemewahan. Apa yang dia lakukan
mengurai tabu hubungan pemilik alpard dan penjual angkringan. Dia mengajarkan
bagaimana mencabut sekat pemilik perusahaan dan karyawan. Sampai-sampai dia
menulis sendiri ucapan seorang karyawan dalam buku semi autobiografinya:
“....Pak Edi adalah orang yang congkak tapi baik sih....”
Saya tidak
ingin membadingkan Pak Edi dan Papa Edi. Toh, ini juga bukan masalah kemiripan
nama keduanya. Tapi kelak jika aliran kehidupan membawa saya pada kesuksesan,
saya bermimpi meneladani mereka. Saya akan memilih kebersahajaan dan
kesederhanaan yang sama. Seperti petuah Papa Edi pada malam sebelum saya
kembali pulang, “Jika kamu menjadi orang sukses, sebagai apapun, berilah kemanfaatan bagi orang
lain.” Dan saya sangat berharap itu bukan malam perpisahan, tapi malam yang
akan mempertemukan kami kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar