Jumat, 06 Desember 2013

Duo Edi



 Ketika banyak orang mengejar posisinya, jujur dia berkata, “Dulu saya bercita-cita jadi petani.” Nadanya datar. Sama sekali tidak menyiratkan penyesalan karena kini tiap jam ada saja masalah yang datang. Juga bukan ucapan kesombongan atas prestasi yang melebihi harapan. Dia hanya menegaskan bahwa hidup ini seperti aliran air yang membawa kita bersamanya. Kadang berarus tenang yang menjadi tempat kita berenang riang. Namun kadang seperti jeram, yang membuat kita rela terlempar.
Saya memanggilnya Pak Edi. Nama lengkapnya Edi Priyanto. Saya mengenal dia (tepatnya “beliau” karena saya sangat menaruh hormat padanya) sejak pelantikannya sebagai kepala humas perusahaan plat merah yang membawahi 19 cabang dan 5 anak perusahaan. Saya sendiri kala itu berkesempatan menjadi kontributor berita media internal yang merupakan salah satu program kehumasan. Hampir setiap bulan saya bertemu Pak Edi pada rapat redaksi. Selain juga jika ada kegiatan perusahaan atau saat agenda peliputan.
Tidak seperti kepala humas kebanyakan, dia tidak lantas ‘show off’ dengan jabatanya. Ketika awal menjadi keumas, dia sempat ‘enggan nampang’ dan mengatakan merasa dikerjai tim redaksi ketika close up wajahnya hampir memenuhi satu halaman majalah.
Jarang sekali saya melihat dia tampil berdasi, apalagi ditambah jas seperti yang layak dipakai pentolan humas perusahaan besar, kecuali  saat diharuskan pada acara-acara resmi. Pak Edi memang pernah bilang tidak nyaman mengenakan dasi. Dia lebih enjoy bekerja dengan pakaian kemeja polos dengan bordil logo kecil perusahaan di saku kiri. Sesekali dia menggulung lengan kemeja hingga dibawah siku, mirip karyawan pekerja lapangan.
Posisi tinggi di departemen kehumasan tidak menjadikan Pak Edi hilang kesederhanaan. Dia menjalin hubungan antar karyawan dengan gayanya yang bersahaja tanpa meninggalkan wibawa. Pernah seorang stafnya menyeletuk, “Mbok ya sekali-kali, Pak, makan siangnya di Bon Ami (restoran/cafe steakhouse di Surabaya).” “Wah,  lebih enak di kantin belakang. Selera saya kan makanan embongan,” jawab Pak Edi tanpa beban.
Saya lebih percaya caranya menjalin hubungan baik dengan semua orang bukan semata tuntuan fungsi jabatan menjaga citra perusahaan tapi memang begitulah kebiasaan Pak Edi. Bahkan kepada kami yang hanya berstatus anak magang, Pak Edi tak canggung menasihatkan: “Kata orang Jawa, kalau mau sukses  rumusnya 3N. Niru, Niteni, Nambahi. Awalnya kita mencontoh orang lain, lalu mengingatnya sebagai pelajaran, setelah itu berinovasi dengan seseuatu yang lebih baik.”
 Hampir dua tahunan saya bekerja bersama beliau. Waktu yang relatif singkat tapi membuat saya bersyukur bisa mengenal sosoknya.
Kemudian tak dinyana, Allah mempertemukan saya dengan sosok Edi yang lain. Edi Mulyono, saya tidak akan pernah tau nama itu jika tidak melihat nama yang tertera di undangan resmi sebuah pelatihan kepenulisan. Dan walaupun dia terkenal tidak semua orang tau nama itu, karena dia populer dengan nama Edi yang lain. Anyway, Edi yang ini adalah direktur perusahaan penerbitan di Yogayakarta. Bukan hanya itu dia penggagas dan ce-e-o-nya. CEO!
Secara fisik, saya mengenal Edi yang ini kurang dari tiga hari. Selebihnya saya kenal dari pemikiran dalam tulisannya. Tapi benar bahwa hubungan tidak ditentukan kuantitas waktu bersama, melainkan dari kualitasnya. Dalam tiga hari dia menjadi inspirator bagi saya. Dia membuka mata saya, bahwa masih ada orang yang tulus ikhlas melakukan segala sesuatu tanpa perhitungan materi hanya demi mewujudkan mimpi, bukan mimpi dirinya semata tapi juga mimpi orang lain. Ternyata ada orang yang mau mengangkat 30 orang anak dalam semalam, dan itu dia lakukan setiap dua bulan!
Papa Edi yang ini (jika boleh memanggil beliau demikian, karena saya sudah merasakan jadi anaknya) juga mencontohkan bagaimana hidup sederhana dalam kemewahan. Apa yang dia lakukan mengurai tabu hubungan pemilik alpard dan penjual angkringan. Dia mengajarkan bagaimana mencabut sekat pemilik perusahaan dan karyawan. Sampai-sampai dia menulis sendiri ucapan seorang karyawan dalam buku semi autobiografinya: “....Pak Edi adalah orang yang congkak tapi baik sih....”
Saya tidak ingin membadingkan Pak Edi dan Papa Edi. Toh, ini juga bukan masalah kemiripan nama keduanya. Tapi kelak jika aliran kehidupan membawa saya pada kesuksesan, saya bermimpi meneladani mereka. Saya akan memilih kebersahajaan dan kesederhanaan yang sama. Seperti petuah Papa Edi pada malam sebelum saya kembali pulang, “Jika kamu menjadi orang sukses, sebagai apapun, berilah kemanfaatan bagi orang lain.” Dan saya sangat berharap itu bukan malam perpisahan, tapi malam yang akan mempertemukan kami kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar