masih sempatkah kita berbenah
or, menyesalkah kita
dengan pemikiran yg masih sama
or, menyesalkah kita
dengan pemikiran yg masih sama
Pemuda Sayap Politik Indonesia
Masih ingatkah kita tentang seorang gadis belia yang sempat menjadi pembicaraan di berbagai media pertengahan September 2012 lalu? Gadis itu bernama Bashaer Othaman yang berasal dari palestina. Dia mengunjungi Indonesia disponsori oleh World Peace Movement guna menyampaikan pesan perdamaian bagi generasi muda di Indonesia. Tapi yang menjadi sorotan sebenarnya bukan pada pesan yang hendak disampaikan remaja ayu itu. Melainkan yang lebih menarik dan membuat publik tercengang adalah talenta Bashaer yang telah menduduki jabatan Walikota di usianya yang tak lebih dari enam belas tahun! Ya, pengalaman memimpin kota Allar Tepi Barat Palestina saat sekelas pelajar membuat Bashaer menyandang predikat Walikota termuda di dunia.
Tentu
saja jabatan Walikota tidak didapat Bashaer karena di daerahnya krisis politisi
sehingga jabatan itu diberikan begitu saja padanya. Bahkan kesempatan memimpin
kota Allar itu harus dia ‘rebut’ dengan menyisihkan sekian banyak pesaing. Dan
terbukti dalam usia yang belum menapaki kepala dua, Bashaer mampu mengendalikan
pemerintahan dan mengukir prestasi-prestasi yang menjadi tolak ukur pencapaian
dimasa dua bulan dia menjabat.
Saat
menjabat Walikota, Bashaer mengganti 10 anggota Dewan Kota Allar dengan 10
pemuda Palestina yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui seleksi dengan
sistem gugur. Dia juga berhasil mendirikan sebuah pabrik untuk menyediakan
lapangan kerja bagi kaum muda. Hebatnya lagi wanita berusia dini itu juga
membangun sistem pertahanan sipil guna memperkuat keamanan lingkungan. Meski
kemudian diketahui bahwa jabatan Bashaer bukan murni didapat dari pemilihan
resmi secara politik melainkan merupakan program pemerintah setempat dalam
pemberdayaan generasi muda, namun tak bisa dipungkiri dalam masa jabatan dua
bulan seorang remaja mampu menghasilkan berbagai kebijakan publik dan keputusan
politik yang dianggap strategis.
Disisi
lain kita mungkin bangga dengan catatan sejarah pra atau pasca kemerdekaan
dimana gerakan pemuda selalu mendominasi step-stepnya.
Sebutlah fenomena-fenomena bersejarah yang
dimotori oleh pemuda Indonesia. Boedi Oetomo di tahun 1908, misalnya.
Kemudian, Sumpah Pemuda tahun 1928, peristiwa Rengasdengklok yang menjadi cikal
bakal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Aksi Angkatan ’66 yang berperan dalam
pembentukan Orde Baru, Aksi Golput 1974 yang dibarengi Tritura Baru, dan yang
paling fresh Gerakan Reformasi tahun
1998. Semua kejadian bersejarah tersebut diyakini sebagai bukti peran pemuda di
kancah pergulatan politik tanah air. Dan diluar itu tentu masih banyak
demo-demo dari mahasiswa dari seantero nusantara yang turut mewarnai gejolak
kebijakan-kebijakan pemerintahan.
Tapi
jika dicermati antara realita Bashaer Othaman dan gerakan pemuda Indonesia saat
ini, seolah tercermin bahwa Indonesia tertinggal satu ruang dalam keterlibatan
pemudanya di dunia politik nasional. Aksi
demo mahasiswa atau pergerakan organisasi pemuda di Indonesia tampak sebagai sebuah sayap yang memiliki kekuatan
mengepak tapi tidak memiliki otoritas untuk mencapai tujuan. Mereka hanya dalam posisi
mendorong/mempengaruhi arah kebijakan tapi tidak punya kuasa untuk menentukan.
Karenanya, kekuatan mereka selalu berbasis massa atau pembentukan opini publik melalui retorika di media. Jika keduanya
gagal dilakukan, maka semakin lemahlah sayap-sayap itu. Dia tidak akan bergerak
apalagi mengepak.
Padahal
ciri dari pemikiran pemuda bagi bangsa dan negaranya adalah sebuah idealisme
yang masih utuh. Coba perhatikan setiap
talk show yang menghadirikan pelajar atau mahasiswa untuk berbicara tentang
kondisi di Indonesia. Para anak-anak bangsa itu akan sangat bersemangat
mengungkapkan harapan bagaimana Indonesia mendatang. Mereka akan menyatakan
impian tentang masa depan Indonesia yang gemilang, aman dan sejahtera. Mereka
selalu mengatakannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Lebih dari itu ada
kalanya mereka menyertakan langkah-langkah yang harus dilakukan dan
lubang-lubang yang perlu ditambal. Namun sekali lagi, pemikiran ideal itu tetap
dinilai hanya sebagai pedapat dari satu sayap yang tidak punya kekuatan
melakukan.
Sedangkan
jika berbicara politik, kita akan berbicara tentang kepentingan. Satu jabatan
politik otomatis memangku suatu kepentingan tertentu. Posisi itu yang kemudian
menentukan kebijakan berbagai sektor yang terkait. Ranah ini pun kemudian menjadi
rebutan bagi orang-orang yang bermaksud meloloskan ambisi pribadi melalui jalur
kekuasaan.
Bertolak
dari hal tersebut, pemikiran pemuda pada umumnya masih tidak banyak
terkontaminasi. Sehingga kepentingan bagi mereka adalah mewujudkan nilai
idealisme yang mereka anut. Terjadilah ketidakselarasan antara pemangku
kepentingan dengan pemikiran politik pemuda. Ini yang disinyalir menjadi
penyebab adanya upaya menempatkan pemuda hanya sebagai kekuatan oposisi dalam
politik.
Sejatinya
hak berpolitik setiap warga Indonesia telah dijamin Undang-undang. Setiap orang
berhak menyuarakan aspirasi politiknya dan terlibat aktif dalam perpolitikan
nasional, walaupun batasan usia masih berlaku sesuai dengan UU tahun 2008. Dalam
Undang-undang, seorang warga Indonesia memiliki hak suara sah dalam Pemilu
untuk menentukan pilihan politiknya serta dapat terlibat sebagai anggota aktif
Partai Politik setelah melewati usia 17 tahun. Namun untuk mencalonkan diri
atau dicalonkan sebagai pemegang kursi politik di legeslatif seorang warga
Indonesia harus berumur sedikitnya 21 tahun, dan untuk pemegang jabatan eksekutif
ada variasi batasan umur minimal yang berbeda yakni Walikota/Bupati 25 tahun,
Gubernur 30 tahun, dan Presiden 35 tahun.
Namun
nyatanya, kebebasan – atau pembatasan – aturan perundang-undangan tersebut
tidak lantas menjadikan pemuda-pemuda Indonesia berlomba menduduki
jabatan-jabatan politik. Realisasinya bahwa jabatan politik masih didominasi
mereka yang sudah berkepala empat keatas. Sebagai gambaran, dalam statistika usia
anggota DPR RI tahun 2009-2014 (sumber Data Olahan KPU) mayoritas berusia 41-50
tahun yakni sebesar 39%, yang berusia 50-60 tahun sebesar 24,5%, yang berusia
31-40 tahun sebesar 21%, dan yang berusia 21-30 tahun hanya sebesar 3,8%,
sedangkan sisanya 11% diisi para sesepuh yang berusia 60 tahun keatas!
Lantas
apakah kenyataan ini tidak cukup menjadi ironi bagi pemuda pemuja idealisme?
Mereka yang gigih menyuarakan gagasan. Mereka yang getol dengan yel-yel
perubahan. Mereka yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat. Mereka yang
mendambakan kebangkitan Indonesia melalui perbaikan sistem pemerintahan. Mereka
yang selalu memimpikan kokohnya barisan pemuda NKRI hingga terlihat tegak di
mata Internasional, apakah cukup hanya membunyikan kepakan tanpa kekuasaan
bertindak??!
Bukan Saatnya Bicara, Bung!
Pada
ahir tulisan ini penulis ingin mengenang kembali sosok pemuda yang sangat
mengagumkan dengan idealismenya yang kental. Seseorang yang telah mengikrarkan
diri dengan ungkapan “Di Indonesia ini
hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan
untuk menjadi idealis untuk batas sejauh-jauhnya” (catatan harian Gie, 20
Agustus 1968). Rasanya tidak ada yang memungkiri suara Soe Hok-Gie begitu
lantang menyuarakan tema-tema politik sejak dia remaja. Dia begitu berharap
kelak penggenggam kekuasaan di Indonesia adalah pemuda-pemuda yang bernurani
dan konsisten dalam idealisme yang murni. Di usianya yang tidak pernah tua –
karena Tuhan berkehendak mengabulkan harapan Gie untuk mati muda – Gie
menyerukan “Kita, generasi kita,
ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan
generasi yang akan memakmurkan Indonesia” (Maxwell 2001:9).
Seolah
Gie merasa idealisme pun berpotensi tergerus usia. Seperti halnya
aktifis-aktifis yang ketika muda kukuh dengan idealismenya tapi di usia yang
menua dalam jabatan pemerintahan dia melenceng
dari apa yang diamanatkan. Bahkan presiden perdana kita, Proklamator Indonesia,
yang tidak pernah diragukan keteguhan jiwa masa mudanya, tak lepas dari
cercaaan Gie sebagai pemimpin yang pada masa ahir kepemimpinannya sibuk dengan
kesenangan pribadi.
Tetapi
bagaimanapun, meski Gie adalah pemuda cerdas yang berani dan tidak segan mengkritik
kebijakan politik sejak berstatus pelajar SMA
sampai ahir hayatnya, dia hanya sebagai sayap politik Indonesia yang hanya
punya kekuatan mengepak. Walau dari pemikiran Gie banyak tercetus
gagasan-gagasan hebat bagi bangsa, dia tidak pernah menjadi pengksekusi gagasan
tersebut dalam pemerintahan. Pandangannya bahwa kursi pemerintahan adalah racun
bagi idealisme yang anut, membuatnya enggan untuk menduduki kursi jabatan
apalagi menguasainya.
Keadaan
inilah yang menurut hemat penulis menjadi boomerang bagi kemajuan politik tanah
air. Disaat pemuda-pemuda cerdas, putra-putra bangsa yang hebat,
generasi-generasi harapan yang menggenggam idealisme besar merasa bangga hanya
dengan segudang gagasan. Mereka lebih merasa hebat dengan menyurakan tuntutan.
Saat muda mereka enggan menduduki jabatan, saat nilai ideal dalam jiwanya masih
utuh alangkah sayang jika kesempatan itu disia-siakan.
Kini
Indonesia membutuhkan kita, kawan! Bukan sekedar menyarakan kebenaran. Tapi
saatnya kita, pemuda Indonesia, ambil bagian. Bukan hanya bicara, bukan hanya
menentang, bukan berteriak lantang. Tapi saatnya kita yang melakukan. Saatnya
kita menentukan kebijakan. Saatnya kita
mengeksekusi setiap gagasan gemilang. Saatnya kita mengambil alih tugas mereka
demi kemakmuran Indonesia.
~hytk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar