Jumat, 13 Desember 2013

Pemuda Sayap Politik Indonesia



masih sempatkah kita berbenah
or, menyesalkah kita
dengan pemikiran yg masih sama

  
Pemuda Sayap Politik Indonesia


Masih ingatkah kita tentang seorang gadis belia yang sempat menjadi pembicaraan di berbagai media pertengahan September 2012 lalu? Gadis itu bernama Bashaer Othaman yang berasal dari palestina. Dia mengunjungi Indonesia disponsori oleh World Peace Movement guna menyampaikan pesan perdamaian bagi generasi muda di Indonesia. Tapi yang menjadi sorotan sebenarnya bukan pada pesan yang hendak disampaikan remaja ayu itu. Melainkan yang lebih menarik dan membuat publik tercengang adalah talenta Bashaer yang telah menduduki jabatan Walikota di usianya yang tak lebih dari enam belas tahun! Ya, pengalaman memimpin kota Allar Tepi Barat Palestina saat sekelas pelajar membuat Bashaer menyandang predikat Walikota termuda di dunia.
Tentu saja jabatan Walikota tidak didapat Bashaer karena di daerahnya krisis politisi sehingga jabatan itu diberikan begitu saja padanya. Bahkan kesempatan memimpin kota Allar itu harus dia ‘rebut’ dengan menyisihkan sekian banyak pesaing. Dan terbukti dalam usia yang belum menapaki kepala dua, Bashaer mampu mengendalikan pemerintahan dan mengukir prestasi-prestasi yang menjadi tolak ukur pencapaian dimasa dua bulan dia menjabat.
Saat menjabat Walikota, Bashaer mengganti 10 anggota Dewan Kota Allar dengan 10 pemuda Palestina yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui seleksi dengan sistem gugur. Dia juga berhasil mendirikan sebuah pabrik untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum muda. Hebatnya lagi wanita berusia dini itu juga membangun sistem pertahanan sipil guna memperkuat keamanan lingkungan. Meski kemudian diketahui bahwa jabatan Bashaer bukan murni didapat dari pemilihan resmi secara politik melainkan merupakan program pemerintah setempat dalam pemberdayaan generasi muda, namun tak bisa dipungkiri dalam masa jabatan dua bulan seorang remaja mampu menghasilkan berbagai kebijakan publik dan keputusan politik yang dianggap strategis.
Disisi lain kita mungkin bangga dengan catatan sejarah pra atau pasca kemerdekaan dimana gerakan pemuda selalu mendominasi step-stepnya. Sebutlah fenomena-fenomena bersejarah yang  dimotori oleh pemuda Indonesia. Boedi Oetomo di tahun 1908, misalnya. Kemudian, Sumpah Pemuda tahun 1928, peristiwa Rengasdengklok yang menjadi cikal bakal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Aksi Angkatan ’66 yang berperan dalam pembentukan Orde Baru, Aksi Golput 1974 yang dibarengi Tritura Baru, dan yang paling fresh Gerakan Reformasi tahun 1998. Semua kejadian bersejarah tersebut diyakini sebagai bukti peran pemuda di kancah pergulatan politik tanah air. Dan diluar itu tentu masih banyak demo-demo dari mahasiswa dari seantero nusantara yang turut mewarnai gejolak kebijakan-kebijakan pemerintahan.
Tapi jika dicermati antara realita Bashaer Othaman dan gerakan pemuda Indonesia saat ini, seolah tercermin bahwa Indonesia tertinggal satu ruang dalam keterlibatan pemudanya di dunia politik nasional.  Aksi demo mahasiswa atau pergerakan organisasi pemuda di Indonesia tampak  sebagai sebuah sayap yang memiliki kekuatan mengepak tapi tidak memiliki otoritas untuk mencapai tujuan.  Mereka hanya dalam posisi mendorong/mempengaruhi arah kebijakan tapi tidak punya kuasa untuk menentukan. Karenanya, kekuatan mereka selalu berbasis massa atau pembentukan  opini publik melalui retorika di media. Jika keduanya gagal dilakukan, maka semakin lemahlah sayap-sayap itu. Dia tidak akan bergerak apalagi mengepak.
Padahal ciri dari pemikiran pemuda bagi bangsa dan negaranya adalah sebuah idealisme yang masih utuh.  Coba perhatikan setiap talk show yang menghadirikan pelajar atau mahasiswa untuk berbicara tentang kondisi di Indonesia. Para anak-anak bangsa itu akan sangat bersemangat mengungkapkan harapan bagaimana Indonesia mendatang. Mereka akan menyatakan impian tentang masa depan Indonesia yang gemilang, aman dan sejahtera. Mereka selalu mengatakannya dengan tulus dan sungguh-sungguh. Lebih dari itu ada kalanya mereka menyertakan langkah-langkah yang harus dilakukan dan lubang-lubang yang perlu ditambal. Namun sekali lagi, pemikiran ideal itu tetap dinilai hanya sebagai pedapat dari satu sayap yang tidak punya kekuatan melakukan.
Sedangkan jika berbicara politik, kita akan berbicara tentang kepentingan. Satu jabatan politik otomatis memangku suatu kepentingan tertentu. Posisi itu yang kemudian menentukan kebijakan berbagai sektor yang  terkait. Ranah ini pun kemudian menjadi rebutan bagi orang-orang yang bermaksud meloloskan ambisi pribadi melalui jalur kekuasaan.
Bertolak dari hal tersebut, pemikiran pemuda pada umumnya masih tidak banyak terkontaminasi. Sehingga kepentingan bagi mereka adalah mewujudkan nilai idealisme yang mereka anut.   Terjadilah ketidakselarasan antara pemangku kepentingan dengan pemikiran politik pemuda. Ini yang disinyalir menjadi penyebab adanya upaya menempatkan pemuda hanya sebagai kekuatan oposisi dalam politik.
Sejatinya hak berpolitik setiap warga Indonesia telah dijamin Undang-undang. Setiap orang berhak menyuarakan aspirasi politiknya dan terlibat aktif dalam perpolitikan nasional, walaupun batasan usia masih berlaku sesuai dengan UU tahun 2008. Dalam Undang-undang, seorang warga Indonesia memiliki hak suara sah dalam Pemilu untuk menentukan pilihan politiknya serta dapat terlibat sebagai anggota aktif Partai Politik setelah melewati usia 17 tahun. Namun untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pemegang kursi politik di legeslatif seorang warga Indonesia harus berumur sedikitnya 21 tahun, dan untuk pemegang jabatan eksekutif ada variasi batasan umur minimal yang berbeda yakni Walikota/Bupati 25 tahun, Gubernur 30 tahun, dan Presiden 35 tahun.
Namun nyatanya, kebebasan – atau pembatasan – aturan perundang-undangan tersebut tidak lantas menjadikan pemuda-pemuda Indonesia berlomba menduduki jabatan-jabatan politik. Realisasinya bahwa jabatan politik masih didominasi mereka yang sudah berkepala empat keatas. Sebagai gambaran, dalam statistika usia anggota DPR RI tahun 2009-2014 (sumber Data Olahan KPU) mayoritas berusia 41-50 tahun yakni sebesar 39%, yang berusia 50-60 tahun sebesar 24,5%, yang berusia 31-40 tahun sebesar 21%, dan yang berusia 21-30 tahun hanya sebesar 3,8%, sedangkan sisanya 11% diisi para sesepuh yang berusia 60 tahun keatas!
Lantas apakah kenyataan ini tidak cukup menjadi ironi bagi pemuda pemuja idealisme? Mereka yang gigih menyuarakan gagasan. Mereka yang getol dengan yel-yel perubahan. Mereka yang menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat. Mereka yang mendambakan kebangkitan Indonesia melalui perbaikan sistem pemerintahan. Mereka yang selalu memimpikan kokohnya barisan pemuda NKRI hingga terlihat tegak di mata Internasional, apakah cukup hanya membunyikan kepakan tanpa kekuasaan bertindak??!

Bukan Saatnya Bicara, Bung!
Pada ahir tulisan ini penulis ingin mengenang kembali sosok pemuda yang sangat mengagumkan dengan idealismenya yang kental. Seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan ungkapan “Di Indonesia ini hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan untuk menjadi idealis untuk batas sejauh-jauhnya” (catatan harian Gie, 20 Agustus 1968). Rasanya tidak ada yang memungkiri suara Soe Hok-Gie begitu lantang menyuarakan tema-tema politik sejak dia remaja. Dia begitu berharap kelak penggenggam kekuasaan di Indonesia adalah pemuda-pemuda yang bernurani dan konsisten dalam idealisme yang murni. Di usianya yang tidak pernah tua – karena Tuhan berkehendak mengabulkan harapan Gie untuk mati muda – Gie menyerukan “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia” (Maxwell 2001:9).
Seolah Gie merasa idealisme pun berpotensi tergerus usia. Seperti halnya aktifis-aktifis yang ketika muda kukuh dengan idealismenya tapi di usia yang menua dalam jabatan pemerintahan dia melenceng dari apa yang diamanatkan. Bahkan presiden perdana kita, Proklamator Indonesia, yang tidak pernah diragukan keteguhan jiwa masa mudanya, tak lepas dari cercaaan Gie sebagai pemimpin yang pada masa ahir kepemimpinannya sibuk dengan kesenangan pribadi.
Tetapi bagaimanapun, meski Gie adalah pemuda cerdas yang berani dan tidak segan mengkritik kebijakan politik sejak berstatus pelajar SMA  sampai ahir hayatnya, dia hanya  sebagai sayap politik Indonesia yang hanya punya kekuatan mengepak. Walau dari pemikiran Gie banyak tercetus gagasan-gagasan hebat bagi bangsa, dia tidak pernah menjadi pengksekusi gagasan tersebut dalam pemerintahan. Pandangannya bahwa kursi pemerintahan adalah racun bagi idealisme yang anut, membuatnya enggan untuk menduduki kursi jabatan apalagi menguasainya.
Keadaan inilah yang menurut hemat penulis menjadi boomerang bagi kemajuan politik tanah air. Disaat pemuda-pemuda cerdas, putra-putra bangsa yang hebat, generasi-generasi harapan yang menggenggam idealisme besar merasa bangga hanya dengan segudang gagasan. Mereka lebih merasa hebat dengan menyurakan tuntutan. Saat muda mereka enggan menduduki jabatan, saat nilai ideal dalam jiwanya masih utuh alangkah sayang jika kesempatan itu disia-siakan.
Kini Indonesia membutuhkan kita, kawan! Bukan sekedar menyarakan kebenaran. Tapi saatnya kita, pemuda Indonesia, ambil bagian. Bukan hanya bicara, bukan hanya menentang, bukan berteriak lantang. Tapi saatnya kita yang melakukan. Saatnya kita menentukan kebijakan.  Saatnya kita mengeksekusi setiap gagasan gemilang. Saatnya kita mengambil alih tugas mereka demi kemakmuran Indonesia. 
~hytk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar