Selasa, 03 Desember 2013

Pensil Sahabat




Armeita anak orang kaya. Semua anak tahu itu. Setiap hari dia diantar ke sekolah dengan menggunakan mobil sedan berwarna merah mengkilap. Barang-barang miliknya, seperti tas, sepatu, alat tulis dan sebagainya bagus dan berkualitas. Dia juga sering memakai aksesoris yang berbeda setiap harinya.
Dia anak pindahan dari Semarang. Aku hanya mengenal dia sekedarnya. Teman-teman di sekolahku banyak mengira dia anak yang sombong. Mereka berpikiran seperti itu karena melihat dari penampilan Meita dan tingkahnya yang lebih sering main sendiri. Padahal menurutku Armeita anak yang baik dan ramah. Hanya saja pembawaannya yang pendiam membuat dia kurang cepat akrab dengan anak yang lain.
Buktinya, ketika ujian Matematika kemarin. Saat itu aku lupa membawa alat tulis. Tempat pensil yang biasa aku bawa dalam tas, tiba-tiba tidak berada pada tempatnya. Pastilah barang itu tertinggal di rumah. Lalu, bagaimana aku mengambilnya?? Tidak mungkin meminta ijin pada Pak Bagio untuk pulang mengambilnya. Nanti malah Pak Bagio menyangka aku mengada-ada. Tapi mana mungkin aku mengerjakan ujian tanpa sebuah alat tulis pun?
Aku celingukan ke kanan dan ke kiri. Disaat seperti ini, siapa yang bisa membantuku?
Saat itulah pandanganku bertemu dengan Armeita, anak Semarang keturunan Sunda itu. Melihat kebingunganku dia bertanya, “Kenapa, An?”
“Pensilku ketinggalan,” jawabku.
“Pakai punyaku saja,” ujarnya seraya mengulurkan pensil mekanik berwarna pink dari tangannya.
Langsung saja aku menyambutnya. “Boleh aku pinjam dulu?”
Dia mengangguk sambil tersenyum.
“Terima kasih,” ucapku.

Setelah waktu ujian habis, aku mencari Armeita. Sepertinya dia telah menyelesaikan ujian duluan. Aku bergegas mencarinya di luar. Tapi belum sempat aku menemukan Armeita, seorang anak yang berjalan tergesa menabrak diriku dari belakang. Tubuhku oleng kesamping. Untunglah aku tidak sampai terjelungup jatuh. Tapi goncangan yang menghantam lengan kananku membuat genggaman tanganku merenggang. Kontan pensil Armeita yang aku pegang lepas dan terjatuh. Pensil mekanik yang terbuat dari bahan kaca itu pink itu pecah dan berserakan dilantai.
Aku tercengang.  Bagaimana aku mengembalikan pensil itu dalam bentuk serpihan seperti ini? Pasti Armeita akan marah kepadaku. Apakah ia bisa memaafkan aku? Berbagai pikiran tak menentu berkecambuk di kepalaku.
Tapi buru-buru aku memunguti pecahan pensil itu dan membungkusnya dalam sapu tangan. Biar bagaimanapun aku harus mengatakan yang sebenarnya dan meminta maaf. Toh, bisa jadi pensil ini tidak ada harganya bagi Armeita, pikirku mencoba menghibur hati.

Bel berbunyi. Tanda pelajaran berikutnya akan segera dimulai. Segera ku cegat Armeita sebelum masuk kelas. Aku menceritakan padanya tentang kejadian tadi. Aku tunjukkan serpihan pensilnya dalam bungkusan sapu tangan. Sambil tak lupa aku ucapkan permintaan maaf.
Armeita menerima bungkusan itu dengan wajah merunduk. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Dia diam tak bersuara.
Aku berdebar tak karuan. Mungkin dia memang marah. “Aku berjanji akan menggantinya, walaupun nggak sebagus itu.”
Dia masih diam
Em.. aku akan mengganti yang seperti itu, tapi tidak sekarang…,” kataku gugup.
Dia tetap diam.
Aku semakin bingung. Apa yang harus aku lakukan? “Maafkan aku, Meita!” pintaku lirih.
Perlahan wajah Armeita terangkat. Kemudian ia tampak menggeleng pelan. “Nggak papa kok,” katanya nyaris tak terdengar.
Sekilas kulihat ada bulir air di sudut mata Meita. Aku jadi merasa sangat bersalah. Mengapa Meita harus menangis hanya gara-gara pensil, aku sama sekali tak menyangka.

Keesokan harinya, kusiapkan sebuah pensil mekanik baru. Warnanya pink, sama seperti milik Armeita. Meski bahan dan bentuknya tak sebagus yang kemarin. Aku akan memberikannya pada Armeita. Yah, paling tidak semoga bisa mengurangi kesalahanku sebelum aku bisa mengganti dengan pensil yang persis sama.
Maka, sepulang sekolah aku sengaja menemuinya di depan gerbang sekolah. Disanalah Meita selalu menunggu mobil jemputan.
Mula-mula aku menyapa dengan memanggil namanya. Terus terang, aku takut dia masih marah dan tak mau lagi bicara dengaku.
Tapi dugaanku salah. Dia menyambutku ramah dan tersenyum manis padaku. Seolah diantara kami tak pernah terjadi apa-apa. Malah ketika mobil yang menjemputnya tiba-tiba datang, dia serta merta mengajakku ikut main ke rumahnya.
Karena belum sempat menyampaikan apa-apa, aku setuju dengan ajakannya.

****
Rumah Meita besar dan sangat indah. Di halaman depan sebelah kanan terdapat taman dengan aneka macam tanaman.  Rumput yang menyelimuti tanahnya terlihat bak permadani hijau yang terhampar. Sedangkan tanaman-tanaman  seperti Mawar, Kamboja, Burgenfil serta yang berjajar tegak dan teratur rapi. Di tengah taman itu juga ada sebuah kolam kecil lengkap dengan pancuran air yang tidak terlalu deras. Kolam itu dihiasi empat Lili air yang sedang mekar mengambang. 
Di halaman sebelah kiri digunakan sebagai garasi atau tempat parker mobil. Namun sebagian petak di depan disediakan dua pasang kursi dan meja. Pasti menyenangkan duduk bersantai disana saat pagi atau sore hari.
Wah, alangkah indah dan asrinya….

 “Ayo masuk, An! Kok jadi bengong??” Seru Meita membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya…. Maaf.” Aku tersipu dan langsung bergegas melangkah mengikuti Meita
Kami langsung menuju kamar Meita di lantai dua. Setara dengan rumahnya, kamar ini juga luas dan indah. Bersih. Dan rapi sekali tatanannya. Aku sampai kagum melihatnya.
“An, aku minta maaf ya soal yang kemarin,” tutur Armeita.
“Eh, iya. Eh…, aku yang harusnya minta maaf….”
“Bukan kamu yang salah. Kamu tidak sengaja kan?” dia mengajakku duduk di lantai beralas busa karpet. “Kamu pasti kemarin merasa nggak enak ya?”
“Kemarin kamu sampai menangis,” kataku menyesal.
“He…he…,” dia tertawa kecil. “Iya. Cengeng ya!”
“Kamu sangat suka pensil itu ya?”
“Sebenarnya bukan masalah pensilnya…. Tapi itu kenang-kenangan dari temanku di Semarang. Dia Sahabatku!”
“Oh,” aku jadi semakin merasa bersalah. “Maaf Meita. Aku benar-benar minta maaf.”
“Tidak masalah,” katanya, “ Semalam aku sudah menelponnya. Dia bilang, aku anak bodoh jika sedih hanya gara-gara pensil. Persahabatan itu tidak dinilai dengan sebuah barang, tapi bagaimana kita tulus berbuat baik pada orang lain….”
“Tidak sebagus pensilmu sih,” aku keluarkan pensil yang tadi pagi baru aku beli. Ragu-ragu ku sodorkan benda warna pink itu ke arah Armeita. Dia memandangku dan pensil itu secara bergantian. “Ini buat kamu.”
Dia tersenyum ramah dan berkata, “Tidak perlu, An. Aku udah maafin kamu.”
“Aku beli memang untuk kamu. Memang tidak sebagus pensil sahabatmu, tapi aku berharap kamu mau menerimanya,” kataku menimpali.
Armeita meraih pensil dari tanganku. Lalu menimangnya. “Bagus, An. Aku suka,” katanya riang. “Ini memang tidak bisa mengganti pensilku kemarin. Tapi aku tahu, aku punya sahabat baru sekarang. Dan itu lebih baik.” Dia kemudian memelukku. “Kamu mau jadi temanku kan, An?”
“Iya, tentu saja.” Jawabku gembira


Hyt. K

Tidak ada komentar:

Posting Komentar