Sejenak
flashback pada 10 sampai 5 tahun yang lalu, saat Ramadhan mata kita selalu dimanjakan
dengan film-film religi yang menyuguhkan kesan kesantunan. Hampir semua stasiun
televisi berlomba menyangkan film dengan para pemain yang berpakaian tertutup,
scene yang banyak mengambil latar aktifitas di masjid, dialog yang tertata demi
penguatan makna, penokohan atau karakter-karakter yang mendidik sekiranya pesan
moral yang menjadi inti film dapat tersampaikan dengan baik. Dan walaupun kita
harus menunggu satu tahun untuk kembali menikmati film-film sejenis itu,
rasanya waktu tersebut tak berarti mengingat
kerinduan kita pada film yang mengangkat edukasi Islami.
Sebutlah judul-judul “Lorong Waktu”,
“Para Pencari Tuhan”, “Hikmah”, atau serial khusus Ramadhan yang lainnya.
Selain sebagai hiburan, film bergenre islami itu banyak disukai karena sarat
bermuatan hikmah. Alhasil, film-film tersebut meraup rating tinggi sehingga ada
yang sempat ditayangkan ulang pada tahun berikutnya dan ada juga yang
diproduksi ulang dengan judul dan pemain yang sama. Bahkan ada yang bertahan
hingga periode tahun ke enam. Walaupun, banyak pula yang menyayangkan seri-seri
pada tahun ke dua dan selanjutnya tidak sebagus seri-seri pada tahun
perdananya. Ada juga yang mengatakan terjadi penurunan kualitas nilai
pesan atau pengikisan hikmah-hikmah pada
pada seri yang belakangan karena ide cerita sudah tidak fresh lagi dan terkesan dipaksa-paksakan.
Dia awal tahun 2008, muncul sebuah
film yang fenomenal. Film berjudul “Ayat-ayat Cinta” yang diangkat dari novel
best seller karya Habiburrahman El Shirazy itu menjadi pembicaraan cukup
panjang di lingkungan publik. Selain memberi pemandangan yang berbeda karena
berlatar kehidupan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di
Al-Azhar Kairo, Ayat-ayat Cinta menghadirkan lika-liku cerita yang memikat. Tak
ayal, meski sang penulis novel mengakui ada beberapa bagian yang menyimpang dan
tidak seseui dengan karya aslinya, film ini menuai kesuksesan yang luar biasa.
Menyusul kemudian, dirilis kembali
film cinta bergenre islami yang juga diangkat dari novel best seller buah karya
pengarang yang sama. Masih berkisah tentang romantika mahasiswa Indonesia di
negeri Timur Tengah, “Ketika Cinta Bertasbih” juga berhasil menyedot perhatian
masyarakat. Bahkan “Ketika Cinta Bertasbih 2” yang merupakan sambungan cerita
dari “Ketika Cinta Bertasbih” menjadi filem yang paling ditunggu sepanjang
tahun itu.
Berkaca dari kepopuleran kedua film
tersebut seolah membuka mata publik bahwa film-film islami layak menjadi
tontonan yang lebih baik ditengah film-film bermodel ‘jahiliyah’ dengan cerita
seputar perebutan harta dan kekuasaan, perselingkuhan, atau penindasan si
miskin oleh si kaya. Dan walaupun tetap menjadikan cinta sebagai implikasinya,
film islami mampu membalut unsur intrinsik dalam kesantunan nilai serta
struktur agama dan budaya. Pengemasan cinta dalam batasan norma-norma ini yang
menjadi daya pikat serta memberi pengaruh positif pada para penontonya,
disamping juga menyuguhkan tayangan bernuansa religi.
Hal
ini yang kemudian menjadi anomie tersendiri dalam masyarakat, yang tentu tidak
akan dibiarkan begitu saja oleh industrisasi film tanpa pengarapan. Maka
industri film semakin gencar memproduksi film-film islami yang menurut mereka
merupakan komoditas yang laku dijual. Munculah berbagai film yang beberapa
diantaranya diangkat dari novel islami dengan judul yang sama. Dan ada pula
film yang memiliki ide cerita sendiri tanpa berawal dari ide cerita novel. Tak
ketinggalan filem serial televisi pun berlomba mengangkat cerita dengan latar
masyarakat Islam. Kini tak perlu menunggu Ramadhan untuk menyaksikan tayangan
berbalut budaya Islam.
Namun yang perlu dicermati adalah
maraknya film-film Islam tidak selalu memberi sumbangsih positif terhadap
khazanah keislaman atau memberikan pengajaran yang benar tentang tatanan dan
akidah Islam. Semakin banyaknya film-film yang menyebut dirinya islami
terkadang malah mengikis nilai keislaman itu sendiri. Seperti halnya sebuah
norma yang dikomersilkan, unsur-unsur keislaman seolah menjadi bulan-bulanan
yang dipaksa memenuhi keinginan pasar. Seringkali sesuatu yang memiliki derajat
tinggi pada tatanan Islam digambarkan sebagai suatu yang bernilai rendah demi
kepentingan alur serta plot cerita. Contohnya seperti seorang bergelar ‘Haji
tiga kali’ yang bakhil, Kiyai yang konsorvatif, penceramah yang menganut aliran
sesat, ustad yang bepoligami, muslimah
yang dianiaya suami, ibu yang memiliki anak mursal, dan sebagainya.
Walaupun selalu ada balasan adil
pada ending cerita, misalnya haji yang bakhil hidupnya susah, kiayi sesat tidak
tenang dalam kuburnya, dan sebagainya. Tapi tetap saja hal-hal tersebut tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Belum lagi adegan-adegan yang tidak dimaksudkan memberi
kesan antogonis tapi tidak sesuai dengan nilai Islam. Misalnya berduaan di masjid
antara laki-laki dan permpuan, gadis berkerudung yang tiap hari dibonceng
laki-laki yang bukan muhrimnya, serta adegan yang lain yang secara sadar atau
tidak menanamkan perilaku yang tidak sejalan dengan kaidah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar