Selasa, 03 Desember 2013

Film Islami Atau Islamisasi Film (1)



              Sejenak flashback pada 10 sampai 5 tahun yang lalu, saat Ramadhan mata kita selalu dimanjakan dengan film-film religi yang menyuguhkan kesan kesantunan. Hampir semua stasiun televisi berlomba menyangkan film dengan para pemain yang berpakaian tertutup, scene yang banyak mengambil latar aktifitas di masjid, dialog yang tertata demi penguatan makna, penokohan atau karakter-karakter yang mendidik sekiranya pesan moral yang menjadi inti film dapat tersampaikan dengan baik. Dan walaupun kita harus menunggu satu tahun untuk kembali menikmati film-film sejenis itu, rasanya waktu  tersebut tak berarti mengingat kerinduan kita pada film yang mengangkat edukasi Islami.
            Sebutlah judul-judul “Lorong Waktu”, “Para Pencari Tuhan”, “Hikmah”, atau serial khusus Ramadhan yang lainnya. Selain sebagai hiburan, film bergenre islami itu banyak disukai karena sarat bermuatan hikmah. Alhasil, film-film tersebut meraup rating tinggi sehingga ada yang sempat ditayangkan ulang pada tahun berikutnya dan ada juga yang diproduksi ulang dengan judul dan pemain yang sama. Bahkan ada yang bertahan hingga periode tahun ke enam. Walaupun, banyak pula yang menyayangkan seri-seri pada tahun ke dua dan selanjutnya tidak sebagus seri-seri pada tahun perdananya. Ada juga yang mengatakan terjadi penurunan kualitas nilai pesan  atau pengikisan hikmah-hikmah pada pada seri yang belakangan karena ide cerita sudah tidak fresh lagi dan terkesan dipaksa-paksakan.
            Dia awal tahun 2008, muncul sebuah film yang fenomenal. Film berjudul “Ayat-ayat Cinta” yang diangkat dari novel best seller karya Habiburrahman El Shirazy itu menjadi pembicaraan cukup panjang di lingkungan publik. Selain memberi pemandangan yang berbeda karena berlatar kehidupan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar Kairo, Ayat-ayat Cinta menghadirkan lika-liku cerita yang memikat. Tak ayal, meski sang penulis novel mengakui ada beberapa bagian yang menyimpang dan tidak seseui dengan karya aslinya, film ini menuai kesuksesan yang luar biasa.
            Menyusul kemudian, dirilis kembali film cinta bergenre islami yang juga diangkat dari novel best seller buah karya pengarang yang sama. Masih berkisah tentang romantika mahasiswa Indonesia di negeri Timur Tengah, “Ketika Cinta Bertasbih” juga berhasil menyedot perhatian masyarakat. Bahkan “Ketika Cinta Bertasbih 2” yang merupakan sambungan cerita dari “Ketika Cinta Bertasbih” menjadi filem yang paling ditunggu sepanjang tahun itu.
            Berkaca dari kepopuleran kedua film tersebut seolah membuka mata publik bahwa film-film islami layak menjadi tontonan yang lebih baik ditengah film-film bermodel ‘jahiliyah’ dengan cerita seputar perebutan harta dan kekuasaan, perselingkuhan, atau penindasan si miskin oleh si kaya. Dan walaupun tetap menjadikan cinta sebagai implikasinya, film islami mampu membalut unsur intrinsik dalam kesantunan nilai serta struktur agama dan budaya. Pengemasan cinta dalam batasan norma-norma ini yang menjadi daya pikat serta memberi pengaruh positif pada para penontonya, disamping juga menyuguhkan tayangan bernuansa religi.
            Hal ini yang kemudian menjadi anomie tersendiri dalam masyarakat, yang tentu tidak akan dibiarkan begitu saja oleh industrisasi film tanpa pengarapan. Maka industri film semakin gencar memproduksi film-film islami yang menurut mereka merupakan komoditas yang laku dijual. Munculah berbagai film yang beberapa diantaranya diangkat dari novel islami dengan judul yang sama. Dan ada pula film yang memiliki ide cerita sendiri tanpa berawal dari ide cerita novel. Tak ketinggalan filem serial televisi pun berlomba mengangkat cerita dengan latar masyarakat Islam. Kini tak perlu menunggu Ramadhan untuk menyaksikan tayangan berbalut budaya Islam.
            Namun yang perlu dicermati adalah maraknya film-film Islam tidak selalu memberi sumbangsih positif terhadap khazanah keislaman atau memberikan pengajaran yang benar tentang tatanan dan akidah Islam. Semakin banyaknya film-film yang menyebut dirinya islami terkadang malah mengikis nilai keislaman itu sendiri. Seperti halnya sebuah norma yang dikomersilkan, unsur-unsur keislaman seolah menjadi bulan-bulanan yang dipaksa memenuhi keinginan pasar. Seringkali sesuatu yang memiliki derajat tinggi pada tatanan Islam digambarkan sebagai suatu yang bernilai rendah demi kepentingan alur serta plot cerita. Contohnya seperti seorang bergelar ‘Haji tiga kali’ yang bakhil, Kiyai yang konsorvatif, penceramah yang menganut aliran sesat, ustad yang bepoligami,  muslimah yang dianiaya suami, ibu yang memiliki anak mursal, dan sebagainya.
            Walaupun selalu ada balasan adil pada ending cerita, misalnya haji yang bakhil hidupnya susah, kiayi sesat tidak tenang dalam kuburnya, dan sebagainya. Tapi tetap saja hal-hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Belum lagi adegan-adegan yang tidak dimaksudkan memberi kesan antogonis tapi tidak sesuai dengan nilai Islam. Misalnya berduaan di masjid antara laki-laki dan permpuan, gadis berkerudung yang tiap hari dibonceng laki-laki yang bukan muhrimnya, serta adegan yang lain yang secara sadar atau tidak menanamkan perilaku yang tidak sejalan dengan kaidah Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar