Tuntuan kenaikan upah buruh
yang hampir terjadi tiap tahun sebenarnya adalah bentuk pelecehan pada
perusahaan. Yang artinya perusahaan belum bisa berinisiatif menaikkan nilai
kesejahteraan bagi para pekerjanya,
sehingga inisiatif harus lahir dari para pekerja itu sendiri. Toh, tuntuan para
buruh itu bukan seratus persen tidak mungkin direalisasikan. Terbukti ‘baru’
setelah dilakukan demo besar-besaran pihak perusahaan mau memberikan nilah upah
yang lebih besar. Walaupun jumlah angkanya tidak sama persis dengan yang
tertera pada kertas tuntutan, tapi paling tidak sudah ada kesepakatan baru
tentang harga jasa antara buruh dan perusahaan. Jadi bukankah perusahaan
memiliki kemampuan menaikkan upah? (pertanyaannya: mungkinkah jika tanpa
diawali demo?)
Semua orang setuju jika buruh adalah ujung tombak
perusahaan, karena kualitas dan kuantitas produk ditentukan dari produktifitas
mereka. Sebenarnya tidak hanya buruh
produksi, tapi juga tenaga marketing, distribusi, pelayanan, semua memegang
peran sangat penting karena merupakan struktur kerja yang padu. Tanpa mereka
mana mungkin kinerja perusahaan dapat berjalan optimal. Bahkan jajaran manejerial terancam ter-PHK masal
jika para pekerja itu memutuskan mogok kerja terus-terusan.
Namun yang menjadi semacam kesenjangan dimana saat
perusahaan semakin berkembang, omset semakin naik, profit perusahaan melangit, komisi
marketing membukit, gaji manajer naik,
buruh tetap diupah sesuai statusnya: tetap mengikuti jumlah UMR yang ditentukan
pemerintah. Jika buruh tidak berdemo, kecil kemungkinan pendapatannya akan
bertambah. Buruh tidak akan merasakan manis getirnya laba perusahaan. Sehingga
tak peduli bagaimana kondisi perusahaan, buruh terus melakukan berbagai
tuntutan demi menaikkan pendapatan.
Menghadapi kondisi yang demikian, adakalanya kita harus
menanamkan rasa kemilikan perusahaan
pada buruh. Para buruh juga harus memahami kondisi perusahaan tempat mereka
mengais nafkah. Karena jika perusahaan collapse, buruh sendiri yang akan rugi karena PHK masal
tak dapat dihindarkan dan otomatis banyak buruh akan kehilangan pekerjaan.
Cara cerdas untuk menanamkan rasa kepemilikian perusahaan
adalah dengan memberikan sebagian saham pada buruh. Para buruh (secara jamak) berhak atas sebagian
saham yang kemudian nilainya dibagi rata pada setiap buruh. Kepemilikan saham
bukan diberikan secara permanen kepada individu, melainkan hanya sebagai hak
selama dia menjadi buruh perusahaan. memang secara teknis buruh tidak dapat
mengintervensi kebijakan perusahaan sejara langsung, tapi setiap buruh berhak
mengetahui laju ekonomi perusahaan dan
berhak atas sebagian keuntungan perusahaan sesuai dengan besarnya saham yang
ditentukan.
Selain membentuk kepedulian terhadap kondisi perusahaan,
strategi seperti ini memberi motivasi kerja secara intern dari diri setiap
buruh. Setiap buruh akan merasakan bahwa produktifitas yang mereka hasilkan
tidak hanya dibayar sesuai UMR atau kesepakatan kerja antara pekerja dan
perusahaan, tapi berbuah meningkatnya laju usaha yang ahirnya menghasilkan
profit yang lebih bagi dirinya. Para buruh juga akan bangga menggunakan
produk-produk perusahaan dan dengan suka rela merekomendasikan produk
perusahaan pada kerabat dan teman-temannya, dengan demikian buruh juga berfungsi
sebagai corong informasi dan agen promosi bagi produk-produk perusahaan.
Setuju kan?!
Jika setuju vote di www.ciputraentrepreneurship.com
Semangat buat para buruh!! ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar