Kamis, 05 Desember 2013

Rinai Hujan di Balik Mendung Cakrawala



 


Jalan Semolowaru lenggang. Pengendara motor nampak melintas satu-satu. Itu pun hanya sekelebat lalu menghilang tak trlihat lagi. Mobil, itu juga jika ada, berjalan angkuh sambil mengibaskan bintik-bintik air dari kaca depan bagian luar. Para pejalan kaki merapatkan diri di teras-teras toko atau bangunan lain yang memiliki atap lebih untuk berteduh.
Hujan memang tidak sepenuhnya berhenti. Titik-titik air sisa masih saja menetes. Mendung tidak jua mau membubarkan diri. Hingga langit harus rela bertahan dengan warna kelabu. Angin berhembus syahdu, menyeruakan aroma khas tanah basah. Pantaslah jika orang-orang masih enggan keluar. Cuaca begini memang paling enak menyembunyikan diri. Meski sebagian orang sudah mulai melakukan aktifitasnya, sebagian lain menunda dengan alasan akan ada hujan lebat susulan.
Bagiku, hujan adalah anugrah. Airnya bisa jadi mengandung berkah. Karena hujan merupakan suatu keajaiban semesta. Bukankan hujan adalah sirkulasi alam. Ia adalah hasil dari penguapan air laut yang kemudian mengalami proses pembekuan/ penyubliman/ pengembunan/ pencairan, atau apalah namanya.
Yang jelas itu sebuah keajaiban. Betapa tidak ketika banyak riset menyatakan perairan laut kita tercemar, tidak ada yang namanya air hujan tercemar. Hujan adalah murni air yang dicurahkan dari langit. Ia adalah berkah.
Bah, itu kan filosofinya saja. Toh, air hujan juga mengandung asam yang menjadikan barang-barang besi jadi karatan. Itu lah sebabnya orang bergegas menutup motornya jika hujan datang.

Puas ngomonging tentang hujan…?? Yah, dari pada ngelamun… he..he..

Pukul 11.15. Waktu satu setengah jam yang baru saja kuhabiskan dengan duduk di depan pintu ruang ATM sambil merasakan suasana hujan terlanjur membuatku merasa nyaman. Enggan aku untuk beranjak. Apalagi berjalan menyeberangi jalan. Meski orang-orang yang tadi berjejer disamping kanan kiriku kini telah pergi. Aku mempertahankan posisi. Lambaian tangan seseorang yang berusaha memanggilku, tak aku hiraukan.
Lagi pula, jam kuliahku telah habis. Jadi percuma saja masuk kelas. Dan juga aku yakin, pasti tidak ada materi untuk hari ini. Kau tau kan, di sebuah sekolah tingkat dasar para murid dan gurunya mengungsi ketika kelas mereka kebanjiran. Mereka terpaksa melakukan kegiatan belajar mengajar dengan kondisi seadanya. Tapi di bangku perkuliahan, apalagi jika PTnya swasta, keadaan macam itu mana ada. Cuaca hujan malah jadi alasan meng-cancel perkuliahan. Lagi-lagi berkah buat mahasiswa; dan tentu bagi dosennya juga.

He..he… berkali kali dalam hati aku tertawa.

“Maaf, permisi!” sebuah suara menyentak alur pikiranku.
Seorang gadis berdiri di depanku. Ia mengenakan kemeja putih dengan bawahan rok span warna hitam. Tangannya menggenggam tongkat payung guna melindungi dirinya dari rintik air hujan. Namun, bercak lumpur yang melekat pada sisi sepatu high-girlnya menyatakan ia tak dapat lepas dari dampak buruk hujan.
Wanita itu berisyarat hendak masuk ruang ATM. Dengan seulas senyum aku mempersilahkan. Sudah saatnya untuk pulang, batinku. Lantas aku melangkah hendak pergi.
Tapi nyatanya alam tak mengijinkan. Belum sampai empat langkah aku turun menjejak tanah, hujan kembali menguyur. Kali ini sama lebat dengan waktu kedatanganku. Mau apa lagi, aku kembali mengiyup di depan tempat ATM.
Sesaat kemudian wanita tadi keluar dari pintu ATM. Ia melongak melihat langit mendung dengan air yang mengucur. Dari mimiknya nampak wanita itu kecewa. Payung yang ia bawa malah diikat dan tidak jadi dibuka. Mungkin karena hujan ini cukup deras hingga pakai payung dirasa percuma. Wanita itu lebih memilih berteduh dibawah atap. Sama sepertiku, ia merapat pada dinding kaca.

Sejenak aku perhatikan wanita itu dengan seksama. Aku tak mengenalnya. Dia bukan mahasiswa seperti umumnya, dari penampilannya saja beda. Seperti awal pengamatanku, sebeum ia masuk ruang ATM tadi, wanita disebelahku memakai kemeja ketat warna putih dan bawahan sempit hitam. Sepertinya baju seragam. Kakinya ditopang sepatu beludru dengan tingi tumit sekitar tujuh centimeter. Dari paha atas hingga kebawah telapaknya dibalut kain tipis transparan warna hitam.
Dandanannya lumayan. Rambut disisr rapi ke belakang. Hanya sebagian poni pendek sengaja diurai. Sebenarnya dia tidak cantik. Tapi wajahnya menarik. Ada warna-warna yang terpoles disana. Ada merah, kuning, ungu, pink, serta biru. Tinggal menyaput hijau saja, lengkap sudah koleksi warna pada lagu balonku ada lima. Hi..hi..
Ia menoleh kearahku. Mungkin ia mulai sadar kalau sedari  tadi  jadi objek pengamatan. Sejurus ia menatapku. Mata kami sempat bertemu. Lalu kutawarkan senyum, ia respon sekilas. Kemudian kembali memalingkan muka. Beberapa kali ia kerlingkan mata. Ada gelagat aneh kutangkap dari lirikannya. Mungkin ia tengah iri padaku dan membayangkan betapa hangat berselimut jaket besar yang aku kenakan. Memang dalam cuaca dingin begini membalut diri dengn jaket merupakan kenikmatan tersendiri.
Tapi mungkin aku yang selah persepsi. Karena kulihat senyum dan pandangan sinis tergambar dari raut mukanya. Bisa jadi dia memandangku salah satu dari makhluk-makhluk yang tak layak ada di kehedonisan kampus. Celana komprang, sepatu kets usang, ditambah jaket lusuh yang kedodoran. Apalagi tas selempang yang biasanya digantung di pundak, aku semat di atas kepala layaknya bandana. Mungkin aku disangkanya mahasiswa gelandangan setengah gila. Aku sih enjoy aja.
“Kerja dimana, Mbak?” tanyaku coba menyapa.
Tak ada suara. Wanita itu hanya menggeleng lalu memalingkan muka.
“Oh, kuliyah ya? Mahasiswa sini juga?”
“Em… bukan,” katanya ogah-ogahan.
Namun aku terus memancingnya untuk bicara. Kucecarkan pertanyaan walau kutahu awalnya ia tak suka. Tapi lama-lama pembicaraan kami cair juga.
Dari penuturannya aku tau, dia sedang menempuh progaram profesi. Pendidikan setara diploma. Kebetulan pembekalan dan teori diadakan dikampus ini. Jadi ia hanya menempuh pendidikan disini kira-kira 6 bulan, selanjutnya langsung training di lapangan.
“Bisa langsung kerja ya, Mbak?”
“Yah, bisa saja. Tergantung hasil seleksinya.”
“Dipilih dari apanya?”
“Dari penilaian semuanya.”
“Harus cantik ya?”
“Pokoknya bisa membawa diri dengan baik saja,” dia setengah tertawa, “makanya, kita diajari cara bermake-up naturalis, berdandan diri, cara berjalan yang anggun, berbicara sopan, dan yang lain. Pokoknya kita benar-benar disiapkan sebelum kerja di lapangan."
“Tapi biasanya nanti yang diterima duluan yang cantik-cantik. Seperti Mbak ini,” ucapku bermanis lidah.
“Ha.. ha.., iya sih,” jawabnya riang.

Aku sempat berpikir, mengapa banyak wanita semacam dia. Mereka mau saja dibentuk menurut kehendak penguasa. Mereka  dipaksa melakukan  hal yang mungkin tak seharusnya. Anehnya mereka malah mengungkapnya dengan bangga. Mereka seakan menikmati bentuk-bentuk eksploitasi diri. Mereka merasa dengan dandanannya orang bakal menaruh simpati. Orang akan banyak yang menyukai mereka. Parahnya, mereka bahagia jika para pelaku usaha melihat penampilan fisik yang mereka punya bisa menjadi sesuatu yang bisa menjual. Tanpa sadar mereka menjadi  korban virus kapitalisme yang menyerahkan diri dengan sukarela.

“ Aku cabut dulu ya,” ucap si wanita. Aku mengangguk mengiyakan ketika ia melambaikan tangan.

Hujan menyisakan gerimis yang hampir reda. Dibawah payung terbuka masih kulihat wanita tadi menyebrang trotoar. Langkanya teratur gemulai, mengikuti irama kiri… kanan… kiri… yang katanya selalu ditanamkan salah satu pemandu pada salah satu sesi latihan. Dan rok sempitnya membantu menjaga lebar tiap-tiap langkahnya. Kemudian rinai-rinai bintik sisa hujan menelan hilang sosoknya.
Aku melompat, menghindari kubangan yang masih menampung sisa hujan. Kubiarkan rintik air menetes di permukaan jaket panjangku, mencipta bercak-bercak warna basah. Pergelangan celanaku pun tak luput dari serangan lunpur. Meski sudah aku coba beberapa kali menggulungnya, toh ahirnya menjuntai ketanah juga. Tapi bodo amat. Apa gunanya produsen deterjen berkoar dengan iklan ‘membersihkan paling bersih’ jika kotor jadi phobia di kalangan mahasiswa.
Aku berjalan menuju gedung kuliahku. Jam kelas memang telah usai. Tapi siapa yang melarang aku untuk kesana.
Sesaat aku ingin berbangga jadi mahasiswa. Berbangga dengan kebebasan yang aku punya. Berbangga dengan nilai-nilai idealis meski hanya sekedarnya. Berbangga sebelum terserang virus kapitalisme yang kian meluas.

Di langit, mendung yang masih melingkupit cakrawala.
(1208)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar