Jalan Semolowaru lenggang. Pengendara motor nampak melintas
satu-satu. Itu pun hanya sekelebat lalu menghilang tak trlihat lagi. Mobil, itu
juga jika ada, berjalan angkuh sambil mengibaskan bintik-bintik air dari kaca
depan bagian luar. Para pejalan kaki merapatkan diri di teras-teras toko atau
bangunan lain yang memiliki atap lebih untuk berteduh.
Hujan memang tidak sepenuhnya berhenti. Titik-titik air sisa masih
saja menetes. Mendung tidak jua mau membubarkan diri. Hingga langit harus rela
bertahan dengan warna kelabu. Angin berhembus syahdu, menyeruakan aroma khas
tanah basah. Pantaslah jika orang-orang masih
enggan keluar. Cuaca begini memang paling enak menyembunyikan diri. Meski
sebagian orang sudah mulai melakukan aktifitasnya, sebagian lain menunda dengan
alasan akan ada hujan lebat susulan.
Bagiku, hujan adalah anugrah. Airnya bisa jadi mengandung berkah.
Karena hujan merupakan suatu keajaiban semesta. Bukankan hujan adalah sirkulasi
alam. Ia adalah hasil dari penguapan air laut yang kemudian mengalami proses
pembekuan/ penyubliman/ pengembunan/ pencairan, atau apalah namanya.
Yang jelas
itu sebuah keajaiban. Betapa tidak ketika banyak riset menyatakan perairan laut
kita tercemar, tidak ada yang namanya air hujan tercemar. Hujan adalah murni
air yang dicurahkan dari langit. Ia adalah berkah.
Bah, itu kan filosofinya saja. Toh, air hujan juga mengandung asam
yang menjadikan barang-barang besi jadi karatan. Itu lah sebabnya orang
bergegas menutup motornya jika hujan datang.
Puas ngomonging tentang hujan…?? Yah, dari pada ngelamun… he..he..
Pukul 11.15. Waktu satu setengah jam yang baru saja kuhabiskan
dengan duduk di depan pintu ruang ATM sambil merasakan suasana hujan terlanjur
membuatku merasa nyaman. Enggan aku untuk beranjak. Apalagi berjalan
menyeberangi jalan. Meski orang-orang yang tadi berjejer disamping kanan kiriku
kini telah pergi. Aku mempertahankan posisi. Lambaian tangan seseorang yang
berusaha memanggilku, tak aku hiraukan.
Lagi pula, jam kuliahku telah habis. Jadi percuma saja masuk kelas.
Dan juga aku yakin, pasti tidak ada materi untuk hari ini. Kau tau kan, di
sebuah sekolah tingkat dasar para murid dan gurunya mengungsi ketika kelas
mereka kebanjiran. Mereka terpaksa melakukan kegiatan belajar mengajar dengan
kondisi seadanya. Tapi di bangku perkuliahan, apalagi jika PTnya swasta,
keadaan macam itu mana ada. Cuaca hujan malah jadi alasan meng-cancel perkuliahan. Lagi-lagi berkah
buat mahasiswa; dan tentu bagi dosennya juga.
He..he… berkali kali dalam hati aku tertawa.
“Maaf, permisi!” sebuah suara menyentak alur pikiranku.
Seorang gadis berdiri di depanku. Ia mengenakan kemeja putih dengan
bawahan rok span warna hitam. Tangannya menggenggam tongkat payung guna
melindungi dirinya dari rintik air hujan. Namun, bercak lumpur yang melekat
pada sisi sepatu high-girlnya menyatakan ia tak dapat lepas dari dampak buruk
hujan.
Wanita itu berisyarat hendak masuk ruang ATM. Dengan seulas senyum
aku mempersilahkan. Sudah saatnya untuk pulang, batinku. Lantas aku melangkah
hendak pergi.
Tapi nyatanya alam tak mengijinkan. Belum sampai empat langkah aku
turun menjejak tanah, hujan kembali menguyur. Kali ini sama lebat dengan waktu
kedatanganku. Mau apa lagi, aku kembali mengiyup
di depan tempat ATM.
Sesaat kemudian wanita tadi keluar dari pintu ATM. Ia melongak
melihat langit mendung dengan air yang mengucur. Dari mimiknya nampak wanita
itu kecewa. Payung yang ia bawa malah diikat dan tidak jadi dibuka. Mungkin
karena hujan ini cukup deras hingga pakai payung dirasa percuma. Wanita itu
lebih memilih berteduh dibawah atap. Sama sepertiku, ia merapat pada dinding
kaca.
Sejenak aku perhatikan wanita itu dengan seksama. Aku tak
mengenalnya. Dia bukan mahasiswa seperti umumnya, dari penampilannya saja beda.
Seperti awal pengamatanku, sebeum ia masuk ruang ATM tadi, wanita disebelahku
memakai kemeja ketat warna putih dan bawahan sempit hitam. Sepertinya baju
seragam. Kakinya ditopang sepatu beludru dengan tingi tumit sekitar tujuh
centimeter. Dari paha atas hingga kebawah telapaknya dibalut kain tipis
transparan warna hitam.
Dandanannya lumayan. Rambut disisr rapi ke belakang. Hanya sebagian
poni pendek sengaja diurai. Sebenarnya dia tidak cantik. Tapi wajahnya menarik.
Ada warna-warna yang terpoles disana. Ada merah, kuning, ungu, pink, serta
biru. Tinggal menyaput hijau saja, lengkap sudah koleksi warna pada lagu
balonku ada lima. Hi..hi..
Ia menoleh kearahku. Mungkin ia mulai sadar kalau sedari tadi
jadi objek pengamatan. Sejurus ia menatapku. Mata kami sempat bertemu.
Lalu kutawarkan senyum, ia respon sekilas. Kemudian kembali memalingkan muka.
Beberapa kali ia kerlingkan mata. Ada gelagat aneh kutangkap dari lirikannya.
Mungkin ia tengah iri padaku dan membayangkan betapa hangat berselimut jaket
besar yang aku kenakan. Memang dalam cuaca dingin begini membalut diri dengn
jaket merupakan kenikmatan tersendiri.
Tapi mungkin aku yang selah persepsi. Karena kulihat senyum dan
pandangan sinis tergambar dari raut mukanya. Bisa jadi dia memandangku salah
satu dari makhluk-makhluk yang tak layak ada di kehedonisan kampus. Celana
komprang, sepatu kets usang, ditambah jaket lusuh yang kedodoran. Apalagi tas
selempang yang biasanya digantung di pundak, aku semat di atas kepala layaknya
bandana. Mungkin aku disangkanya mahasiswa gelandangan setengah gila. Aku sih
enjoy aja.
“Kerja dimana, Mbak?” tanyaku coba menyapa.
Tak ada suara.
Wanita itu hanya menggeleng lalu memalingkan muka.
“Oh, kuliyah ya? Mahasiswa sini juga?”
“Em… bukan,” katanya ogah-ogahan.
Namun aku terus memancingnya untuk bicara. Kucecarkan pertanyaan
walau kutahu awalnya ia tak suka. Tapi lama-lama pembicaraan kami cair juga.
Dari penuturannya aku tau, dia sedang menempuh progaram profesi.
Pendidikan setara diploma. Kebetulan pembekalan dan teori diadakan dikampus
ini. Jadi ia hanya menempuh pendidikan disini kira-kira 6 bulan, selanjutnya
langsung training di lapangan.
“Bisa langsung kerja ya, Mbak?”
“Yah, bisa saja. Tergantung hasil seleksinya.”
“Dipilih dari apanya?”
“Dari penilaian semuanya.”
“Harus cantik ya?”
“Pokoknya bisa membawa diri dengan baik saja,” dia setengah tertawa,
“makanya, kita diajari cara bermake-up naturalis, berdandan diri, cara berjalan
yang anggun, berbicara sopan, dan yang lain. Pokoknya kita benar-benar disiapkan
sebelum kerja di lapangan."
“Tapi biasanya nanti yang diterima duluan yang cantik-cantik.
Seperti Mbak ini,” ucapku bermanis lidah.
“Ha.. ha.., iya sih,” jawabnya riang.
Aku sempat berpikir, mengapa banyak wanita semacam dia. Mereka mau
saja dibentuk menurut kehendak penguasa. Mereka
dipaksa melakukan hal yang
mungkin tak seharusnya. Anehnya mereka malah mengungkapnya dengan bangga.
Mereka seakan menikmati bentuk-bentuk eksploitasi diri. Mereka merasa dengan
dandanannya orang bakal menaruh simpati. Orang akan banyak yang menyukai
mereka. Parahnya, mereka bahagia jika para pelaku usaha melihat penampilan
fisik yang mereka punya bisa menjadi sesuatu yang bisa menjual. Tanpa sadar
mereka menjadi korban virus kapitalisme
yang menyerahkan diri dengan sukarela.
“ Aku cabut dulu ya,” ucap si wanita. Aku mengangguk mengiyakan
ketika ia melambaikan tangan.
Hujan menyisakan gerimis yang hampir reda. Dibawah payung terbuka
masih kulihat wanita tadi menyebrang trotoar. Langkanya teratur gemulai,
mengikuti irama kiri… kanan… kiri… yang katanya selalu ditanamkan salah satu
pemandu pada salah satu sesi latihan. Dan rok sempitnya membantu menjaga lebar
tiap-tiap langkahnya. Kemudian rinai-rinai bintik sisa hujan menelan hilang
sosoknya.
Aku melompat, menghindari kubangan yang masih menampung sisa hujan.
Kubiarkan rintik air menetes di permukaan jaket panjangku, mencipta
bercak-bercak warna basah. Pergelangan celanaku pun tak luput dari serangan
lunpur. Meski sudah aku coba beberapa kali menggulungnya, toh ahirnya menjuntai
ketanah juga. Tapi bodo amat. Apa gunanya produsen deterjen berkoar dengan
iklan ‘membersihkan paling bersih’ jika kotor jadi phobia di kalangan
mahasiswa.
Aku berjalan menuju gedung kuliahku. Jam kelas memang telah usai.
Tapi siapa yang melarang aku untuk kesana.
Sesaat aku ingin berbangga jadi mahasiswa. Berbangga dengan
kebebasan yang aku punya. Berbangga dengan nilai-nilai idealis meski hanya
sekedarnya. Berbangga sebelum terserang virus kapitalisme yang kian meluas.
Di langit, mendung yang masih
melingkupit cakrawala.
(1208)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar